Ramadhan: Langganan Larang Pangan?

“Kekhusukan umat Islam menjalankan ibadah puasa tahun ini terganggu dengan kondisi perekonomian Indonesia yang semakin sulit akhir-akhir ini. Bagaimana bisa beribadah dengan khusuk apabila harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi dan tak terjangkau lagi”, kata Prof. Mohamad Maksum dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan pada hari Kamis tanggal 4 Agustus 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang nara sumber, Prof. Dr. Ir. Mohamad Maksum, M..Sc, peneliti senior PSPK UGM dan guru besar fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, dengan moderator Suparmi, S.TP. Topik yang dibahas dalam seminar tersebut adalah “Ramadan: Langganan Larang Pangan?”

Melambungnya harga kebutuhan pokok, khususnya beras pada masa-masa hari raya keagamaan bukan terjadi pada tahun ini saja, tetapi terjadi hampir setiap tahun. Hal itu terjadi bukan karena produksi pangan dalam negeri mengalami penurunan, melainkan karena permainan politis dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Berdasarkan catatan BULOG produksi beras dalam negeri tahun ini mengalami surplus 6 juta ton. Apabila jumlah tersebut ditambahkan dengan sisa cadangan tahun lalu yang tidak habis dikonsumsi maka surplus beras kita tahun ini mencapai` lebih dari 10 juta ton. Namun ironisnya kondisi tersebut tidak menjamin stabilnya harga beras di dalam negeri. Menjelang bulan Ramadan kemarin harga beras telah meningkat tajam, menjadi hampir mencapai Rp.8.500,- per kg, suatu kondisi yang sangat menyulitkan rakyat karena pada umumnya penghasilan mereka tidak meningkat.

Bila ditelusuri lebih lanjut dapat diketahui bahwa peningkatan harga kebutuhan pokok, khususnya beras terjadi karena permainan para spekulan. Mereka melakukan penimbunan bahan pokok, dengan harapan dapat mendapatkan keuntungan berlipat pada saat harga melambung tinggi. Meskipun kondisi ini terus berulang setiap tahun namun ternyata negara, dalam hal ini pemerintah SBY-Budiono yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengelola negeri ini, tidak mampu mengatasi masalah tersebut. Mereka tidak mampu menjaga stabilitas distribusi bahan pokok, bahkan seolah-olah mereka menikmati kondisi tersebut karena biasanya hal itu ditindaklanjuti dengan kebijakan importasi bahan pokok.

Kebijakan importasi dalam jangka pendek memang dapat menstabilkan haga kebutuhan pokok, namun dalam jangka panjang kebijakan tersebut sangat membahayakan kedaulatan pangan bangsa ini. Kebijakan importasi semakin memperpuruk kondisi rakyat tani karena hal itu selalu dibarengi dengan kebijakan penurunan atau penghapusan bea import. Harga pembelian komoditas import yang sudah rendah akibat kebijakan dumping yang diterapkan oleh negara produsen, menjadi semakin rendah karena komoditas tersebut tidak dikenai bea import. Hal ini jelas akan memukul produsen dalam negeri yang tidak mampu memasarkan hasil produksi dengan harga yang sama dengan produk import karena biaya produksi juga tinggi.

Pemerintah kita seolah tidak melihat kondisi yang dialami oleh rakyat tani Indonesia, sehingga kebijakan importasi menjadi kebijakan favorit yang selalu diambil ketika harga kebutuhan pokok dalam negeri mengalami lonjakan. Kebijakan`importasi menjadi pilihan utama oleh para pengambil kebijakan di negeri ini karena dapat memberikan keuntungan finansial kepada mereka. Bahkan bila ditelusur lebih mendalam ternyata partai politik juga bermain dalam kebijakan tersebut. Untuk memperkuat partai dibutuhkan dana, dan salah satu cara untuk menghimpun dana bagi partai adalah dengan menerapkan kebijakan tersebut. Inilah realitas yang terjadi di negeri ini, semua pihak menjadikan rakyat sebagai obyek untuk mencari keuntungan.

Menanggapi uraian penyaji, seorang peserta seminar melontarkan pandangan bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok setiap kali menjelang hari raya keagamaan bukan sepenuhnya kesalahan pemerintah, tetapi juga kesalahan kita semua. Mengapa setiap bulan puasa harga kebutuhan pokok meningkat? Jawabannya adalah karena pada masa tersebut permintaan kebutuhan pokok juga meningkat tajam. Kondisi ini sebenarnya sangat memprihatinkan karena menunjukkan bahwa kita semua tidak mengetahui hakekat ibadah puasa. Puasa adalah ibadah menahan diri agar mampu berempati dengan kaum lemah dan miskin yang tidak dapat makan karena tidak mempunyai makanan. Namun kenyataannya selama ini pada masa puasa kita justru mengkonsumsi makanan dalam jumlah dan kualitas yang jauh lebih tinggi dibanding hari-hari biasa. Kondisi ini jelas terlihat pada peningkatan permintaan bahan pokok pada masa puasa. Jadi apabila kita ingin mencegah agar tidak terjadi lonjakan harga kebutuhan pokok pada masa puasa dan even-even keagamaan lainnya, maka salah satu langkah yang harus kita laksanakan adalah dengan memberikan pemahaman yang benar akan makna puasa bagi kita semua.

Peserta lain melontarkan pandangan bahwa fenomena lonjakan harga kebutuhan pokok pada masa Ramadhan dan hari raya keagamaan merupakan fenomena lama. Dan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan memperkuat kedaulatan pangan tingkat lokal. Kita mengetahui bahwa bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat dan budaya, termasuk dalam hal makan. Tidak semua rakyat Indonesia makanan pokoknya berupa beras. Ada masyarakat yang makanan pokoknya bukan beras, melainkan jagung, ketela, ubi, dll. Namun kedaulatan pangan yang dimiliki oleh masyarakat di daerah tertentu sirna ketika pemerintah menjadikan beras sebagai makanan pokok rakyat Indonesia. Rakyat di daerah tertentu yang sebelumnya biasa makan jagung, ubi, ketela sebagai makanan pokok, setelah penerapan kebijakan penyeragaman makanan pokok menjadi malu untuk mengkonsumsi makanan pokoknya karena takut dicap sebagai warga miskin. Kebijakan penyeragaman makanan pokok tidak akan menjadi masalah apabila pemerintah mampu untuk menjaga stabilitas ketersediaannya. Namun kenyataannya pemerintah tidak mampu melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena itu salah satu langkah yang harus ditempuh agar rakyat Indonesia tidak mengalami krisis pangan adalah dengan mengembalikan kedaulatan pangan yang selama ini hilang akibat kebijakan penyeragaman makanan pokok. Biarkan rakyat yang memilih sendiri makanan pokok mereka.

Menanggapi berbagai gagasan yang dilontarkan oleh peserta seminar, penyaji menyatakan bahwa solusi utama untuk memecahkan masalah pangan dalam negeri adalah adanya kebijakan pemerintah yang pro rakyat, lebih-lebih rakyat tani. Jangan korbankan rakyat tani kita hanya untuk meraih keuntungan sesaat.*