“Saya berasal dari sebuah keluarga besar, keluarga yang memiliki keterbatasan dalam hal ekonomi. Karena orang tua merasa tidak mampu memberikan ilmu keagamaan yang baik bagi anak-anaknya maka mereka menyekolahkan kami di sekolah yang berbasis agama. Pada waktu itu, meskipun orang tua kami memiliki penghasilan yang relatif kecil namun mereka mampu dan tidak mengalami kesulitan untuk menyekolahkan kami di sekolah tersebut. Hal itu karena sekolah kami bernaung di bawah organisasi keagamaan yang memiliki kepedulian tinggi pada kaum miskin dan orang kecil. Namun kondisi tersebut sekarang tidak dapat kami nikmati lagi. Untuk dapat menyekolahkan anak-anak kami di sekolah yang dulu menjadi sekolah kami dibutuhkan biaya pendidikan yang relatif besar. Tidak berbeda dengan sekolah-sekolah yang lain, sekarang sekolah yang bernaung dibawah organisasi keagamaan juga membebankan biaya pendidikan yang besar bagi orang tua murid”, demikian penuturan seorang peserta seminar dalam seminar bulanan yang dilaksakanan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Kamis tanggal 8 Juli 2010. Seminar yang dilaksanakan secara rutin pada awal bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang narasumber, Dr. Yuli Qodir, seorang staf peneliti Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik, Universitas Gadjah Mada, dan pengurus Angkatan Muda Muhammadiyah, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang diangkat dalam seminar tersebut adalah “Muhammadiyah dan Keberpihakan pada Wong Cilik”.
Menanggapi pernyataan peserta tersebut penyaji mengatakan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, lembaga layanan umat yang berada di bawah naungan organisasi keagamaan terbesar kedua di Indonesia, baik yang berupa lembaga pendidikan maupun lembaga kesehatan telah mulai kehilangan rohnya, meninggalkan keberpihakan pada kaum miskin/orang kecil dan lebih berorientasi pada profit/kapital. “Pada saat ini hanya orang kaya yang bisa mendapat pelayanan kesehatan di RS organisasi itu, sedangkan orang miskin tidak akan dapat menikmati pelayanan karena tidak akan mampu membayar biaya pelayanan yang ditentukan oleh rumah sakit. Demikian pula untuk menyekolahkan anak di sekolah organisasi itu. Hanya orang kaya yang dapat menyekolahkan anak-anaknya di sekolah itu karena besarnya biaya pendidikan yang dibebankan kepada orang tua.” terang penyaji. Kecenderungan menganut faham pragmatisme merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya pergeseran tersebut. Kecenderungan ini sebenarnya tidak hanya melanda organisasi keagamaan yang berbasis Islam namun juga organisasi keagamaan non Islam.
Salah satu indikator adanya pergeseran tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi keagamaan dari tujuan mulia memberi pelayanan kepada umat khususnya orang miskin dan orang kecil kearah pencapaian kepentingan yang bersifat sesaat (kepentingan ekonomi dan kepentingan politik) adalah gencarnya upaya untuk mendorong organisasi keagamaan tersebut untuk terjun ke dunia politik praktis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Upaya secara langsung misalnya nampak dari adanya upaya untuk menempatkan kader di lingkaran kekuasaan pemerintahan. Upaya secara tidak langsung nampak dari adanya fenomena pembentukan partai politik yang diharapkan dapat memobilisasi anggota organisasi untuk mencapai kepentingan politik, atau paling tidak dapat menjadi saluran kepentingan politik anggota organisasi tersebut. Tampilnya beberapa tokoh partai politik dalam bursa pemilihan ketua pengurus pusat organisasi juga merupakan indikator dari adanya upaya untuk menarik gerbong organisasi ke dunia politik. Paling tidak menjadikan organisasi sebagai basis kekuatan untuk mencapai kepentingan poltik. Indikator lain yang dapat dijadikan petunjuk adanya upaya untuk meraih kepentingan politik sesaat adalah disampaikannya undangan kepada pejabat negara untuk memimpin pembukaan muktamar dan pemberian status keanggotaan istimewa kepada pejabat negara.
Apabila kecenderungan prakmatisme ini tidak dapat dikontrol lagi maka tidak membutuhkan waktu lama bagi organisasi untuk ditinggalkan anggotanya. Keengganan anggota untuk merubah arah organisasi dari organisasi yang bertujuan untuk melayani umat menjadi organisasi yang bertujuan untuk mencapai kepentingan sesaat nampak dari minimnya dukungan yang diperoleh oleh tokoh-tokoh yang selama ini dikenal memiliki ambisi politik (syahwat politik) untuk duduk menjadi pengurus pusat organisasi. Dalam muktamar yang dilaksanakan belum lama ini, ada seorang tokoh yang sangat populer namun karena tokoh tersebut dikenal memiliki syahwat politik besar maka ia tidak masuk dalam jajaran pengurus organisasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebenarnya arus bawah tetap menginginkan organisasi tetap berorientasi pada pelayanan terhadap umat, lebih-lebih pada kaum miskin dan wong cilik.
Untuk mencegah agar organisasi tetap berjalan pada rel yang benar yang telah ditetapkan oleh para pendiri organisasi maka merupakan kewajiban bagi semua anggota organisasi untuk memberikan control atau pengawasan kepada pengurus organisasi. Kebiasaan untuk menerima tanpa komentar berbagai kebijakan yang diambil oleh pengurus organisasi harus ditinggalkan. Ketaatan pada keputusan organisasi sangat perlu namun hendaknya ketaatan tersebut disertai dengan sikap kritis sehingga bisa dihindari adanya kesalahan yang dilaksanakan oleh pengurus, lebih-lebih kesalahan yang akan menjerumuskan organisasi ke dalam jurang kehancuran, yaitu keinginan dan upaya untuk mengejar kepentingan sesaat/prakmatis.***(dc)