“Letusan Gunung Merapi yang terjadi sejak tanggal 26 Oktober 2010 dan mencapai puncaknya pada tanggal 5 November 2010 telah menjadi tragedi memilukan yang menyebabkan jatuhnya korban yang tidak ternilai besarnya. Bukan hanya korban harta benda tetapi juga korban nyawa. Hingga saat ini telah terdata ratusan rumah tinggal dan fasilitas umum (baik tempat ibadah, kantor pemerintahan dan bangunan sekolah) di wilayah lereng Merapi yang hancur atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Selain itu, letusan gunung Merapi juga telah menyebabkan jatuhnya korban nyawa. Ratusan jiwa warga masyarakat di lereng merapi yang tewas akibat terkena awan panas yang disemburkan oleh gunung Merapi. Bencana Merapi juga telah menyebabkan terjadinya gelombang pengungsi yang jumlahnya mencapai ratusan ribu jiwa, yang tersebar di ratusan titik pengungsian. Meskipun di samping pemerintah terdapat pula banyak pihak, baik secara pribadi maupun kelembagaan yang telah mengulurkan tangan untuk membantu para korban bencana, namun secara umum dapat dikatakan bahwa penanganan dampak bencana letusan gunung Merapi masih belum dapat berjalan sesuai dengan harapan. Salah satu aspek yang cukup terabaikan adalah penanganan dampak bencana di bidang pendidikan anak-anak”, demikian penyataan penyaji dalam seminar bulanan di PSPK UGM yang diselenggarakan pada hari Kamis, tanggal 2 Desember 2010. Seminar yang telah menjadi tradisi bulanan, pada kesempatan itu menghadirkan seorang narasumber Esti Fariah, konsultan pendidikan sebuah lembaga internasional sekaligus alumni S2 Sosiologi UGM, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang dibahas pada seminar sore tersebut adalah “Keberlanjutan Pendidikan Pasca Erupsi Merapi”.
Terkait dengan dampak erupsi Merapi di bidang pendidikan anak, penyaji menyatakan bahwa letusan Merapi juga membawa dampak buruk pada keberlanjutan pendidikan anak, khususnya anak-anak di wilayah yang terdampak letusan gunung Merapi. Hal itu terjadi karena beberapa penyebab, pertama, ada beberapa siswa dan guru yang turut menjadi korban letusan gunung Merapi, kedua, banyak anak-anak yang ikut mengungsi orang tua mereka, ketiga, banyak fasilitas sekolah baik sekolah dasar maupun sekolah menengah di lereng Merapi yang hancur atau rusak akibat letusan Merapi sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dan keempat, banyak bangunan sekolah yang dimanfaatkan sebagai lokasi pengungsian sehingga tidak dapat dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
Terkait dengan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap dampak letusan Merapi bagi keberlanjutan pendidikan anak, banyak pihak menilai pemerintah terlalu lamban. Salah satu indikator yang dapat dipergunakan sebagai tolok ukur adalah lambatnya instruksi yang diberikan pemerintah terkait dengan masalah penitipan anak-anak korban letusan Merapi di sekolah-sekolah yang dekat dengan lokasi pengungsian. Instruksi tersebut baru dikeluarkan setelah satu minggu anak-anak ikut orang tua mereka di lokasi pengungsian. Praktis selama seminggu anak-anak tidak dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Namun dalam pelaksanaannya instruksi tersebut juga tidak dapat berjalan efektif akibat banyaknya kendala yang dihadapi anak-anak pengungsi korban letusan Merapi. Selain keterbatasan sarana belajar (seragam, buku, dll) yang dihadapi anak-anak pengungsi akibat tidak adanya persiapan pada saat akan mengungsi sehingga banyak sarana belajar yang tertinggal di rumah, banyak pula anak-anak pengungsi yang mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan suasana di sekolah yang baru. Mereka merasa minder belajar bersama-sama dengan anak-anak bukan pengungsi karena tidak memiliki sarana kegiatan belajar mengajar yang memadai. Di lokasi pengungsian memang terdapat banyak bantuan yang telah diberikan oleh para donatur, namun sebagian besar berupa bahan pangan dan pakaian, jarang yang berupa sarana kegiatan belajar mengajar siswa.
Berbeda dengan pemerintah yang agak lambat menangani dampak bencana Merapi bagi keberlanjutan pendidikan anak, ada beberapa LSM yang mencoba membantu memecahkan masalah tersebut dengan melakukan pendampingan dalam bidang pendidikan bagi anak-anak di lokasi pengungsian. Mereka mencoba mengkoordinir anak-anak di lokasi pengungsian dan mendampingi mereka untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Namun upaya tersebut tidak dapat berjalan optimal akibat berbagai kendala yang dihadapi. Kendala utama yang menghadang adalah tidak adanya tempat yang memadai bagi anak-anak untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Kondisi ini banyak dirasakan di lokasi pengungsian yang berada di tempat umum, misalnya stadion atau lapangan.
Masalah lain yang terjadi berkaitan dengan penanganan dampak bencana di bidang pendidikan anak adalah pembangunan kembali fasilitas pendidikan (gedung sekolah) yang hancur atau rusak akibat letusan Merapi. Ketika anak-anak bersama orang tua mereka telah pulang kembali ke rumah mereka dari lokasi pengungsian. Anak-anak tidak dapat langsung mengikuti kegiatan belajar mengajar karena gedung sekolah mereka masih rusak dan belum dibangun kembali. Konsentrasi pemerintah masih tertuju pada upaya menyediakan rumah tinggal bagi warga, sementara penyediaan gedung sekolah menjadi prioritas kedua.
Belum optimalnya penanganan dampak bencana bagi keberlanjutan pendidikan anak mendorong penyaji untuk menawarkan sebuah handbook atau buku panduan terkait dengan penanganan dampak bencana bagi keberlanjutan pendidikan anak yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Buku panduan tersebut disusun berdasarkan pengalaman penyaji saat terlibat dalam penanganan dampak bencana terhadap keberlanjutan pendidikan anak di beberapa daerah. Buku panduan tersebut disusun atas dasar pemikiran bahwa kelangsungan proses pendidikan anak pada sat terjadi bencana merupakan amanah Konvensi Hak Anak (the Convention on the Rights of the Child) tahun 1989, yang di dalamnya terdapat 4 prinsip hak-ahak anak, yaitu, pertama, non diskriminasi, dimana semua anak mempunyai hak yang sama dan harus diperlakukan sama oleh peraturan/perundangan dan kebijakan negara, kedua, kepentingan terbaik untuk anak. Setiap tindakan kewenangan oleh publik harus mempertimbangkan kepentingan terbaik untuk anak, ketiga, hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Anak juga mempunyai hak baik hak sipil, hak ekonomi, sosial dan budaya, keempat, partisipasi anak, dimana anak mempunyai hak untuk menyatakan pendapat sesuai tingkat usia dan perkembangannya, serta diperhatikan pendapatnya.
Dalam buku panduan tersebut, penyaji mengajak untuk menggunakan strategi penangan bencana secara menyeluruh, melibatkan berbagai pihak yaitu anak, masyarakat, pemerintah dan pihak lain. Pelibatan anak dalam penanganan dampak bencana guna memastikan pemenuhan kebutuhan dasar anak yang terdiri atas pangan, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan, dan pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak penyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial. Pelibatan masyarakat diperlukan karena anggota masyarakat termasuk orang tua dalam keadaan darurat, bisa berpartisipasi secara aktif dalam penanganan bencana. Dengan sumber daya yang dimilliki diharapkan masyarakat bisa turut menciptakan suasana kondusif bagi pendidikan anak selama dan pasca bencana.. Pelibatan pemerintah dan pihak lain. Hal itu penting untuk mengubah paradigma mereka yang selama ini memandang penanganan bencana sebatas charity sehingga mengabaikan aspek lainnya, khususnya bidang pendidikan yaitu menjaga keberlangsungan proses kegiatan belajar mengajar anak selama dan setelah bencana.
Terkait dengan kegiatan belajar mengajar, penyaji dalam buku panduan penanganan bencana bagi keberlanjutan pendidikan anak, menyatakan bahwa dalam kondisi darurat seyogyanya guru memfokuskan pada pengelolaan kelas dengan metode yang sesuai kebutuhan, yaitu mengembangkan metode pendidikan yang dapat mengembangkan wawasan anak dalam hal kebencanaan. “Tidak ada jeleknya bila materi kebencanaan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah, atau dimasukkan dalam mata pelajaran yang sudah ada. Dengan harapan semakin sering anak mendengar masalah tanggap bencana maka anak tersebut akan semakin memiliki kepekaan dalam menghadapi bencana”, demikian papar penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*(dc)