Minggu berdarah (6-2-2011) di Cikeusik Banten yang menimpa warga Ahmadiyah sebenarnya adalah ledakan bom waktu, yang sudah didahului dengan serentetan peristiwa kekerasan di banyak daerah. Warga Ahmadiyah sudah mengalami ratusan kali intimidasi dan perlakuan kekerasan. Tragedi Cikeusik yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah merupakan puncak dari safari intimidasi yang semoga merupakan lembaran buram yang terakhir dalam sejarah persekusi di Indonesia.
Serangkaian kekerasan terhadap Ahmadiyah dilakukan oleh sekelompok orang secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Tiga jenis kekerasan yang disebut oleh Ignas Kleden (2001) sebagai kekerasan fisik, struktural, dan kultural hadir di sana.
Sejumlah kampung Ahmadiyah yang dulu permai dan damai, kini tak lagi, seiring dengan minimnya ketegasan aparat keamanan dan absennya penegakan hukum serta hadirnya fundamentalisme Islam trans-nasional.
Manislor merupakan enclave Jemaat Ahmadiyah Qodian yang sangat populer di kalangan internal Ahmadiyah maupun dalam liputan media. Manislor merupakan sebuah desa di Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Di wilayah ini mayoritas penduduk menjadi pengikut Ahmadiyah dan kepala desanya dijabat oleh aktivis Ahmadiyah.
Tafsir kebencian menjadi model fatwa MUI, baik MUI tingkat Pusat maupun MUI Daerah, sebagaimana ditunjukkan oleh Fatwa MUI Kuningan No. 86/MUI-KFH/X/2004 tentang pelarangan Ahmadiyah. Fatwa ini dijadikan argumen oleh sebagian kelompok Islam untuk menyikapi keberadaan Ahmadiyah, yang seringkali dengan cara kekerasan.
Tipe b. Seruan dan Penegasan Terbuka kepada Ahmadiyah
Penegasan terakhir (11 Desember 2007) yang suratnya ditujukan kepada Kajati Kuningan/Ketua PAKEM Kabupaten Kuningan, yang isinya antara lain:
1.Hentikan segera seluruh kegiatan Ahmadiyah sebelum Hari Raya Idhul Adha 1428 H.
2.Tutup/segel seluruh tempat kegiatan Ahmadiyah (1 masjid, 7 mushola, 1 Gedung Pertemuan, 1 rumah dinas, dan 1 tempat pengkaderan/pendidikan SMP Amal Bakti) serta berlakukan sanksi hukum.
3.Bongkar atau musnahkan seluruh tempat kegiatan Ahmadiyah apabila melanggar nomor 2.
Tipe c. Baliho Permanen Gerbang Utama Desa
Pada awalnya, ketika peneliti memasuki desa Manislor pada tahun 2006, hanya ada satu baliho (bagian atas) yang terpampang dengan tulisan “Melarang Ajaran dan Kegiatan Ahmadiyah di Wilayah Kabupaten Kuningan”.
Setahun berikutnya (2007), bersamaan dengan ramainya kasus Ahmadiyah dan membesarnya arus pembelaan Ahmadiyah, muncul satu baliho lagi (bagian bawah) dengan tulisan “Ahmadiyah Mutlak Bukan Islam, Ajarannya Sesat dan Merusak Islam, Orang Islam Mendukung Ahmadiyah = Murtad”. Atas desakan aparat keamanan, baliho tersebut diturunkan pada tahun 2008, pasca SKB 3 Menteri.
2. Kekerasan Struktural: Kebijakan Diskriminatif
SKB Pemda Kuningan tahun 2002 mengenai pelarangan Ahmadiyah berimplikasi pada pelarang pencatatan menikah bagi warga Ahmadiyah di Kantor Urusan Agama (KUA) wilayah Kabupaten Kuningan. Jika jemaat ingin melangsungkan pernikahan, mereka harus ke luar dari daerah Kuningan. Warga Ahmadiyah pada umumnya memilih KUA wilayah Cirebon untuk melangsungkan pernikahan mereka. Selain itu, mereka juga memilih wilayah lain yang dirasakan aman, seperti Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.
3. Kekerasan Fisik: Perusakan dan Pembakaran Masjid, dan Penganiayaan
Sejumlah masjid/mushola dirusak dan dilempari batu oleh kelompok penyerang. Sebuah mushola telah dibakar massa, sekarang tinggal puing-puingnya saja.
Seiring dengan kejadian perusakan, 1 warga Ahmadiyah mengalami luka berat (terkena tusukan pisau) dan 6 warga luka ringan. Dalam penuturannya, korban tidak mengenal identitas pelaku karena mereka berasal dari luar daerah.
Kejadian tersebut merupakan “satu episode” dari serangkaian episode kekerasan yang dialami oleh warga Ahmadiyah. Mereka mengalami apa yang disebut Barkan dan Snowden (2001) sebagai collective violence.
B. Akar Masalah
Kita dapat meyebut teologi intoleransi merupakan akar masalah utama dari serangkaian kekerasan yang menimpa kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Teologi intoleransi beroperasi dalam beberapa tingkat.
Pertama, pembentukan pengetahuan tentang pemahaman bahwa tafsir agamanya yang paling benar, sementara yang lain adalah sesat dan menyesatkan. Di sini awal mula munculnya tafsir kebencian.
Kedua, sikap hidup yang merasa paling benar sendiri di hadapan Tuhan, dengan memandang yang lain sebagai lawan. Pada taraf ini, aturan negara seringkali dinomor sekiankan.
Ketiga, penyerangan terhadap kelompok yang tidak sepaham merupakan pilihan yang dapat ditempuh. Pada tingkat ini konsep
jihad secara fisik terhadap pihak lawan dipandang sebagai jalan suci.
Teologi intoleransi dapat bersifat pasif dan aktif. Intoleransi pasif pada umumnya hanya berhenti pada tafsir kebencian, tidak lebih dari itu. Bersifat pasif, karena ia berhenti ketika ada rambu-rambu aturan negara yang mesti ditaati. Intoleransi pasif dapat bergerak menjadi aktif jika ada dorongan terus menerus dari luar dirinya seiring dengan menurunnya kepercayaan umat terhadap aparatus dan institusi negara.
Teologi intoleransi sangat mudah ditumpangi oleh beragam kepentingan, baik politk maupun ekonomi. Bagaikan api, tinggal menyiramkan bensin di atasnya. Pada saat yang sama, aparatus negara terlambat mengantisipasi keadaan, bahkan terkesan ada pembiayaran.
Lemahnya saling kepercayaan sosial dan tingkat kesenjangan ekonomi yang semakin lebar menjadi taman persemaian bagi tumbuhnya teologi intoleransi. Absennya penegakan hukum menjadi pupuk penyuburnya. Lengkap sudah sejumlah prasyarat bagi pertumbuhan teologi intoleransi di negeri ini.
Sejumlah peristiwa kekerasan yang terjadi sebelumnya, baik di tempat yang sama maupun tempat lainnya, tidak menjadi pelajaran yang berarti. Nyawa dan harta benda kelompok minoritas seakan tak berharga. Jika peritiwa berdarah terjadi, maka korban yang justru seringkali disalahkan. Aparatus negara terjebak dalam logika kuasa umat mayoritas, sehingga cenderung menyalahkan minoritas yang menjadi korban kekerasan. Inilah victimisasi sistemik: korban jatuh tertimpa tangga dan tertusuk paku pula.
Dalam kepungan kekerasan semacam itu, warga Ahmadiyah lebih memilih jalan damai, silaturahmi, dan advokasi untuk mempertahankan eksistensi mereka. Selebihnya, mereka berdo’a: Allahummahdi qaumii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka belum mengerti).
C. Sikap Kita?
Kita perlu merumuskan sikap tegas terhadap keberadaan Ahmadiyah. Pertama, kita sebagai warga negara yang taat hukum harus memandang warga Ahmadiyah sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Hukum negara yang seharusnya mengatur tentang keberadaan Ahmadiyah, bukan hukum agama. Kedua, sebagai umat manusia yang beradab, kita memandang wilayah teologi merupakan wilayah hati nurani manusia yang tidak dapat tunduk oleh kekuatan eksternal ataupun paksaan pihak manapun. Pilihan opsi untuk pembubaran Ahamadiyah atau memaksa mereka menbentuk agama baru dapat menabrak hak dasar warga negara Indonesia yang dijamin oleh konstitusi. Ketiga, segenap aparatus negara wajib melakukan pencegahan dini terhadap setiap gelagat yang mengarah kepada tindak kekerasan. Keempat, penegakan hukum secara adil dan beradab harus diterapkan kepada siapapun. Kelima, bagi umat Islam yang menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat, adalah tugasnya untuk mengingatkan dengan penuh hikmah, santun, dialogis, dan dalam suasana kedamaian. Keenam, jika warga Ahmadiyah tetap memilih jalan yang diyakininya, anggap saja mereka tersesat di jalan yang benar. Wallahu a’lam bish-shawab.