“Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di desa, namun selama ini pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah RI masih belum berpihak pada masyarakat desa. Hal itu nampak dari realita yang hingga saat ini masih berlangsung di desa, yaitu desa merupakan kantong kemiskinan dan rawan mengalami ketidakadilan, desa hanya menjadi objek pembangunan dan belum menjadi subjek pembangunan, orang desa hidup dalam krisis kedaulatan pangan, ekologi, keterbatasan dan pencabutan hak atas sumber daya agraria” kata Dr. Bambang Hudayana, kepala PSPK UGM dalam seminar nasional yang dilaksanakan di ruang sidang besar PSPK UGM hari Selasa, 26 Agustus 2014. Seminar yang menghadirkan tiga orang pembicara tersebut, yaitu Budiman Sujatmiko, anggota DPR RI, Dr. Arie Sujito dosen Fisipol UGM dan Dr. Bambang Hudayana mengangkat tema ”Agenda Presiden Baru tentang Pembaharuan Desa dan Reforma Agraria.”
Untuk memecahkan permasalahan tersebut, Dr. Bambang Hudayana memandang presiden baru yang akan memimpin negeri ini perlu membuat beberapa agenda, antara lain melaksanakan kebijakan reformasi agraria guna memastikan ketersediaan lahan yang mencukupi bagi para petani untuk melaksanakan usaha tani yang produktif. Selain itu, pemerintahan yang baru juga perlu mengupayakan agar para petani mampu meningkatkan kemandirian mereka dalam mendiakan saprotan sehingga mereka tidak dipermainkan oleh para pedagang saprotan.
Sementara itu, Budiman Sujatmiko memaparkan bahwa pada mulanya ia merasa enggan untuk masuk ke parlemen, namun setelah didorong oleh banyak pihak ia akhirnya mau mencalonkan diri. Kemauan itu didasari oleh keinginan untuk bisa merealisasikan agenda politik yang selama ini menemukan jalan buntu akibat tidak adanya kekuatan yang dimiliki. Ia membawa agenda politik untuk mengegolkan RUU desa yang selama ini tidak menjadi prioritas sebagian besar anggota parlemen karena akan mengusik kemapanan mereka. Perjuangan di parlemen akhirnya bisa membuahkan hasil, pada tahun 2014 RUU desa disahkan oleh parlemen sebagai UU Desa.
UU Desa merupakan undang-undang yang sangat fenomenal karena akan mengubah kehidupan sebagian besar warga negara Indonesia. UU desa bukan hanya bertujuan untuk memberikan dana yang cukup kepada desa melalui mekanisme penyediaan pos anggaran bantuan ke desa di APBN, namun yang paling utama adalah memperkuat posisi warga desa agar mampu terlibat dalam pengelolaan aset/sumber daya desa. Selama ini mereka hanya menjadi obyek pembangunan sehingga tidak berhak untuk ikut terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan, melalui undang-undang tersebut, warga desa diposisikan sebagai subyek yang berhak untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan di desa.
Perubahan itu dimungkinkan karena berbeda dengan paradigma pembangunan yang selama ini dilaksanakan oleh rejim penguasa Indonesia yang bersifat elitis, UU Desa mengembangkan pendekatan partisipatif yang memberikan ruang bagi semua warga masyarakat desa untuk terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. UU desa memiliki kerangka 3 yaitu otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan demokrasi.
UU Desa mengadopsi semangat mengembangkan otonomi daerah. Namun otonomi daerah yang diperjuangkan oleh UU Desa bukan seperti otonomi daerah yang dimiliki oleh kabupaten/kota yang tidak memiliki akar sejarah sama sekali. Otonomi daerah yang dikembangkan oleh UU Desa adalah otonomi daerah yang bersifat rekognisi, yaitu yang sudah dimiliki oleh desa-desa sejak masa lalu. Dalam undang-undang itu negara mengakui hak asal-usul desa, hak untuk mengatur kehidupannya sendiri, khususnya dalam mengelola aset milik desa, termasuk aset tanah.
Pemberdayaan masyarakat, UU desa mengembangkan semangat untuk memberdayakan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Warga masyarakat desa tidak hanya menjadi objek pembangunan tetapi menjadi subyek yang memiliki hak untuk menentukan program apa yang perlu dilaksanakan di desa.
Penguatan demokrasi juga menyemangati UU Desa. Apabila di desa telah berkembang demokrasi maka warga desa tidak akan mudah diperdaya oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Selama ini banyak caleg yang menjadikan desa sebagai lumbung suara dalam pemilihan hanya dengan melakukan politik uang, sehingga ketika caleg itu jadi maka ia sama sekali tidak mau memperjuangkan kepentingan warga desa. Suatu saat nanti bila demokrasi telah mengakar kuat di desa maka warga desa akan bisa memilih wakil-wakil rakyat yang bersedia untuk memperjuangkan kepentingan desa.
Arie Sujito pada sesi ketiga menyatakan bahwa UU Desa merupakan pintu masuk yang bisa dimasuki oleh siapapun, bukan hanya oleh para pejuang desa yang ingin memperjuangkan kepentingan rakyat desa tapi juga oleh orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pelaksanaan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, perlu pengawasan yang ketat dari semua pihak agar pelaksanaan undang-undang tersebut benar-benar dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat desa.
Perlu diketahui bahwa tujuan utama undang-undang desa bukan bagi-bagi uang bagi desa. namun pemberdayaan warga desa agar mereka mampu mengembangkan diri sehingga dapat terlibat dalam pengelolaan aset desa. Tugas para pejuang desa bukan hanya mengajari warga desa membuat kuitansi LPJ dana yang diterima, tetapi membumikan semangat pembaharuan desa dan reforma agraria. Tantangan utama yang menghadang tujuan itu adalah bagiamana bisa merubah sikap birokrat agar selaras denmgan semangat tersebut. Selama ini sebagian besar birokrat belum memiliki kesiapan untuk melaksanakan pembaruan desa dan reforma agraria.*