“Akhir-akhir ini kita banyak menyaksikan pemaparan hasil survai yang dilakukan oleh sebuah lembaga mengenai tingkat popularitas seorang politikus. Namun sungguh aneh, dari sejumlah survei yang dilakukan dengan metodologi dan obyek yang sama ternyata menghasilkan temuan yang berbeda. Ada lembaga yang memaparkan temuan bahwa tokoh A memiliki tingkat popularitas yang tinggi sedangkan lembaga yang lain memaparkan temuan yang sebaliknya. Bagi sebagian kalangan kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena menimbulkan pertanyaan mana hasil survei tersebut yang benar?”, demikian pernyataan penyaji dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Kamis, tanggal 24 November 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan tersebut pada kesempatan itu menghadirkan seorang narasumber Abdul Gaffar Karim, SIP, M.A, dosen jurusan Ilmu Politik Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Topik yang diangkat pada seminar yang dilaksanakan pada sore hari tersebut adalah “Survey Sesat: Mensikapi Hasil Survei Kandidat Presiden oleh Lembaga Survei”.
Apabila kita melihat hasil survei yang dipaparkan oleh beberapa lembaga survei itu dari kaca mata akademisi yang memiliki idealisme dan memiliki pemahaman tentang filosofi dan metodologi sebuah penelitian atau survei, tentu kita akan memvonis atau memandang remeh penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian tersebut. Kita paham bahwa penelitian tersebut bukan merupakan penelitian yang murni untuk memaparkan data yang benar-benar ditemukan di lapangan sehingga tidak layak untuk dijadikan pedoman. Namun apabila kita memandang hasil survei tersebut dari kacamata rakyat kebanyakan yang tidak memiliki pemahaman tentang filosofi dan metodologi sebuah penelitian maka kita akan merasa dipermainkan karena kita tidak tahu hasil penelitian/survei mana yang layak kita pegang dalam mengambil sebuah keputusan.
Sebagai cendekiawan yang memiliki pengetahuan tentang situasi dan kondisi terkait dengan berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga penelitian maka para akademisi memiliki tanggung jawab moral untuk memberi pemahaman kepada rakyat tentang kondisi tersebut. Agar mereka tidak tersesat dalam mengambil keputusan politik akibat hasil survei dari sebuah lembaga.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh kalangan universitas atau lembaga survei independen yang melakukan penelitian atas dasar idealisme, yaitu untuk memberi sumbangsih yang terbaik bagi kemanusiaan dan perkembangan ilmu pengetahuan, survei popularitas (survei yang terkait dengan ketokohan seseorang) merupakan kegiatan penelitian yang bersifat prakmatis. Survei popularitas sangat terkait dengan pekerjaan konsultan politik untuk meningkatkan citra dari seorang tokoh yang menjadi kliennya. Oleh karena itu sangat wajar apabila hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei yang menjadi konsultan politik cenderung bersifat memihak , yaitu memihak tohoh yang menjadi kliennya. Karena sasaran akhirnya adalah untuk meningkatkan citra/popularitas seorang tokoh maka lembaga tersebut dapat memaparkan hasil survei yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Oleh karena itu sangat wajar apabila hasil survei dari satu lembaga berbeda dengan lembaga yang lain karena sponsornya juga berbeda.
Terkait dengan integritas sebuah lembaga survei kita tidak bisa menghakimi bahwa lembaga survei tersebut tidak memiliki integritas. Mereka tetap memiliki integritas, namun berbeda dengan lembaga survei independen yang memiliki integritas karena loyal pada kemanusiaan dan perkembangan ilmu pengetahuan, lembaga survei yang berdiri sebagai konsultan politik memiliki integritas yaitu loyal pada kliennya. Bila klein menginginkan kemenangan maka lembaga survei sebagai konsultan politik dengan sekuat tenaga akan mewujudkan harapan tersebut.
Survei popularitas merupakan tradisi baru di Indonesia. Pada masa Orde Baru kegiatan ini tidak mungkin dilaksanakan karena rezim pemerintahan yang otoritas. Pada masa itu tidak akan ada lembaga survei yang memaparkan data penelitian bahwa ada seorang tokoh dalam negeri yang memiliki tingkat popularitas tinggi, melebihi popularitas Suharto sebagai sang penguasa Orde Baru. Pada masa sekarang ini survei popularitas menjadi kegiatan yang mudah dilakukan. Hal itu tidak lepas dari kenyataan adanya kebutuhan seorang tokoh untuk merebut hati rakyat. Seorang tokoh yang ingin tampil sebagai pemimpin negeri mau tidak mau harus mampu merebut hati rakyat karena mekanisme pemilihan pemimpin di Indonesia melalui pemilihan umum sehingga orang yang tidak dikenal oleh rakyat tentu tidak akan dipilih. Kebutuhan untuk dikenal oleh seluruh rakyat semakin mendesak karena kita menganut sistem pemerintahan presidensial dimana seseorang baru bisa menjadi presiden bila dipilih oleh seluruh rakyat.
Berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, di negeri yang menganut sistem pemerintahan parlementer survei popularitas tidak menjadi tradisi. Yang lebih banyak muncul adalah survei tentang program yang dilaksanakan oleh pemerintah atau survei popularitas partai. Hal ini wajar karena dalam sistem pemerintahan parlementer, pemimpin negeri (perdana menteri tidak dipilih oleh seluruh rakyat). Untuk bisa tampil sebagai perdana menteri seorang tokoh hanya perlu untuk menjabat sebagai ketua umum sebuah partai politik yang menguasai parlemen.
Di negeri yang menganut sistem pemerintahan presidensial, termasuk di Indonesia tuntutan untuk dikenal baik oleh seluruh rakyat agar dapat memenangkan pemilihan umum mendorong para tokoh untuk berusaha sekuat tenaga untuk dapat dikenal oleh seluruh rakyat. Salah satu langkah yang sering dilakukan adalah dengan menyewa konsultan politik. Meskipun kebijakan ini membutuhkan biaya yang relatif mahal namun hal itu bukan menjadi halangan bagi mereka.
Salah satu langkah yang biasa ditempuh oleh konsultan politik untuk meningkatkan citra/popularitas seorang tokoh adalah dengan melakukan survei popularitas. Namun karena tujuan utama pelaksanaan survei popularitas tersebut bukan untuk memperoleh data yang valid tentang popularitas seseorang namun hanya bertujuan untuk meningkatkan popularitas sang klien maka biasanya hasil survei yang dipaparkan kepada masyarakat adalah data yang tidak murni hasil survei, namun data yang menguntungkan sang klien. Oleh karena itu pada umumnya hasil survei yang dilakukan oleh lembaga yang berdiri sebagai konsultan politik tidak dapat diandalkan karena tidak mencerminkan realita di lapangan.
Berdasarkan realitas tersebut maka dapat dikatakan bahwa survei popularitas memiliki kecenderungan untuk menyesatkan masyarakat karena hasil survei tidak mencerminkan realitas di lapangan. Kegiatan ini sangat tidak menguntungkan bagi kemajuan bangsa karena tingkat kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah. Berbeda dengan masyarakat di negara-negara maju yang memiliki sikap kritis terhadap informasi yang diterima sehingga ia bisa menentukan sikap yang tepat terkait dengan sebuah keputusan politik yang akan diambil, masyarakat Indonesia yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah belum bisa menyaring dan memilah informasi yang diterima, apakah informasi tersebut benar atau tidak benar, sehingga keputusan politik yang diambil seringkali tidak pas. Oleh karena itu lumrah bila ada tokoh tertentu yang tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi pemimpin atau memiliki latar balakang kehidupan yang hitam, dapat memenangkan sebuah pemilihan hanya karena dia mampu membangun citra yang baik dimata rakyat. Rakyat tidak menilai diri seorang tokoh dari kualitas diri yang dimiliki melainkan dari citra yang ditampilkannya.
Kesalahan dalam membuat keputusan politik sering dilakukan oleh rakyat selain karena kualitas SDM yang terbatas juga karena adanya budaya “rubuh-rubuh gedang” yaitu sebuah tradisi untuk membuat keputusan bukan atas dasar pertimbangan pribadi namun karena hanya ikut-ikutan dengan orang lain. Ia membuat sebuah keputusan tertentu hanya karena orang lain juga membuat keputusan yang sama. “Sama seperti orang yang membeli motor bukan karena melihat spesifikasi yang dimiliki oleh motor tersebut namun karena banyak orang yang membeli motor tersebut.” Sikap ini sangat merugikan, lebih-lebih terkait dengan pemgambilan sebuah keputusan politik yang akan memiliki pengaruh pada kehidupan mereka dimasa yang akan datang.
“Merupakan tanggung jawab para akademisi untuk memberi kesadaran kepada masyarakat tentang hakekat survei popularitas sehingga mereka tidak dapat disesatkan oleh berbagai survei yang dilakukan oleh banyak lembaga yang tidak memiliki independensi dan hanya memenuhi keinginan dari sponsor tersebut.” Demikian himbauan penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*