“Bagi kita yang memiliki kepedulian pada kehidupan sosial kemasyarakatan, kondisi sosial kemasyarakatan yang saat ini sedang terjadi di Indonesia sungguh merupakan kondisi yang sangat mencemaskan. Bagaimana tidak, dari hari ke hari kita selalu disuguhi dengan berita tentang terorisme. Dan yang paling menggelisahkan hati adalah kenyataan bahwa mereka yang akhir-akhir ini diduga menjadi pelaku terorisme adalah anak-anak muda yang umurnya masih relatif belia. Fenomena apa ini?” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, pada hari Kamis, tanggal 15 Mei 2011 di ruang sidang PSPK. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap bulan tersebut, menghadirkan narasumber Drs. Lambang Triyono, MA dosen jurusan Sosiologi, FISIPOL UGM, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang diangkat dalam seminar tersebut adalah “Deradikalisasi dan Etika Politik Perubahan”.
“Fenomena banyaknya kaum muda yang terlibat dalam gerakan terorisme di Indonesia merupakan fenomena yang sangat menggelisahkan. Bagaimana tidak menggelisahkan, karena hal itu sangat bertolak belakang/kontradiktif dengan kecenderungan yang saat ini sedang terjadi di beberapa daerah yang selama ini banyak dilanda konflik. Intensitas konflik di Aceh, Maluku maupun Poso dari waktu ke waktu semakin mereda. Namun ternyata hal itu tidak diikuti dengan fenomena terorisme di Indonesia. Kita semua mengetahui, dari waktu ke waktu fenomena terorisme bukan semakin menurun tetapi malah semakin meningkat, meskipun kita juga mengetahui bahwa sebenarnya negara tidak tinggal diam terhadap masalah tersebut. Negara telah melaksanakan berbagai program/kegiatan yang bertujuan untuk memerangi terorisme/kontra terorisme, namun ternyata semua itu belum membuahkan hasil. Bahkan fenomena terorisme semakin menggelisahkan karena sudah melibatkan kaum muda yang sebenarnya merupakan aset bangsa di masa depan.” Lanjut penyaji.
“Mengapa hal itu bisa terjadi? Untuk mendapatkan jawaban yang valid atas pertanyaan tersebut tentu kita membutuhkan penelitian yang mendalam. Namun demikian, berdasarkan pengamatan saya semua itu terjadi karena semenjak era reformasi tidak ada lagi projek yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, sebuah projek yang mampu menuntun kaum muda untuk memegang teguh nilai-nilai demokrasi. Berbeda dengan kehidupan bangsa Indonesia di era 45 dan 65 yang mampu membentuk pemuda Indonesia menjadi manusia seutuhnya, manusia yang mampu memegang nilai-nilai demokrasi, kehidupan bangsa Indonesia saat ini yang diliputi dengan suasana kebebasan belum mampu membina kaum muda dengan baik. Hal itu terjadi karena selain karena tidak adanya projek pembentukan karakter bagi kaum muda, juga semakin banyaknya informasi yang masuk secara bebas. Kaum muda Indonesia yang hidup pada masa sekarang ini dapat diibaratkan sebagai anak yang hidup di rumah tak berdinding, semua hal bisa masuk dan mempengaruhi karakter anak tersebut.
Kaum muda adalah manusia yang masih mencari jati diri. Ia akan berusaha untuk mencari dan meniru segala hal yang dapat membuat mereka merasa memiliki identitas/jati diri. Keinginan untuk mencari yang muncul dalam diri kaum muda bukan merupakan masalah. Namun yang menjadi masalah adalah ketika dalam proses pencarian tersebut, akibat tidak adanya pendampingan, mereka menemukan sesuatu yang salah, nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai yang tidak menghargai pluralisme dan sikap toleransi pada orang lain. Inilah sebenarnya akar/sumber permasalahan terorisme yang selama ini membelenggu dan menghantui kehidupan bangsa Indonesia, yaitu adanya nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai demokrasi.
Salah satu penyebab dari munculnya nilai-nilai yang bertentangan dengan demokrasi, yang kurang menghargai pluralisme dan toleransi adalah kehidupan keberahgamaan kita. Kita harus berani bersikap jujur bahwa selama ini kehidupan keberagamaan kita, cenderung mengembangkan tafsir kebencian terhadap perbedaan. Kita masih merasa benci dengan segala hal yang berbeda dengan kita, lebih-lebih perbedaan agama. Kita masih belum menganut tafsir keberagamaan yang memberi ruang bagi adanya perbedaan, tafsir keberagamaan yang menghormati nilai pluralisme dan toleransi. Reformasi keberagamaan merupakan salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk melaksanakan deradikalisasi. Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk melakukan reformasi kehidupan keregamaan adalah dengan melakukan perubahan tafsir keberagamaan. Dalam menjalankan kehidupan keberagamaan, kita tidak lagi menonjolkan tafsir keagamaan yang mengajarkan sikap kebencian pada perbedaan, namun menonjolkan tafsir keagamaan yang mengajarkan sikap hidup keberagamaan yang menghargai perbedaan. ”Semoga di masa depan, tidak ada lagi anak-anak kita yang terjerumus dalam tindak terorisme” doa penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.* (dc)