“Berbeda dengan dahulu, sekarang biaya kuliah di Universitas Gadjah Mada mahal ya pak? Itulah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh beberapa orang yang berjumpa dengan saya ketika mengetahui bahwa saya adalah dosen Universitas Gadjah Mada. Dan biasanya setelah menerima pertanyaan tersebut saya terdiam, tak bisa memberi jawaban”, demikian pernyataan Arie Sujito, salah seorang penyaji dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM pada hari Kamis, tanggal 5 Agustus 2010. Seminar yang telah menjadi tradisi setiap awal bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan dua orang penyaji yaitu Dr. Ir. Irfan Priyambodo, dosen Fakultas Pertanian UGM sekaligus anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, dan Arie Sujito, S.Sos, M.Si, dosen Sosiologi Fakultas ISIPOL UGM, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Seminar yang diselenggarakan pada sore hari dan dihadiri peserta dari kalangan akademis dan masyarakat umum tersebut membahas topik “Menggugat Kidmat Kebangsaan UGM”.
Bila menilik pada sejarah pendirian Universitas Gadjah Mada, universitas tertua di Indonesia tersebut didirikan dengan tujuan untuk menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan hak rakyat Indonesia untuk memperoleh pendidikan, sesuai dengan amanat konstitusi, berdasarkan Pancasila dan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia. Pemenuhan hak dan kebutuhan rakyat untuk memperoleh pendidikan mendorong Universitas Gadjah Mada untuk mengembangkan sistem pendidikan yang bervisi kerakyatan, sistem pendidikan yang memiliki keberpihakan yang kuat pada rakyat, khususnya rakyat yang miskin dan lemah yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Konsekwensi dari keberpihakan pada rakyat miskin dan lemah itu adalah penyelenggaraan pendidikan yang murah, sehingga universitas bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, namun tetap menjaga kualitas. Murahnya biaya pendidikan di Universitas Gadjah Mada pada masa tersebut telah menciptakan sebutan/ciri khas yang melekat kuat pada institusi Universitas Gadjah Mada hingga akhir decade 90-an, yaitu Universitas Gadjah Mada sebagai universitas ndeso.
Citra Universitas Gadjah Mada sebagai universitas ndeso pada masa itu semakin menguat seiring dengan penyelenggaraan kurikulum pendidikan yang memiliki keberpihakan kuat pada rakyat miskin dan lemah. “Salah satu hal dari UGM yang dikagumi banyak pihak, baik yang berasal dari dalam dan luar negeri, adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Salah satu bentuk pengabdian kalangan akademis pada rakyat pedesaan yang miskin dan lemah”, papar penyaji.
Status BHMN dan Citra UGM
Seiring dengan bergulirnya kebijakan untuk menjadikan Universitas Gadjah Mada sebagai perguruan tinggi yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memberikan kewenangan penuh (otonomi) pada universitas untuk mengelola kampus, termasuk dalam bidang keuangan telah mendorong munculnya kebijakan-kebijakan baru yang tidak lagi bersifat populis karena telah bergeser dari tujuan awal pendirian universitas, yaitu penyelenggaraan pendidikan murah bagi rakyat. Status BHMN telah mendorong pengelola kampus untuk mencari tambahan dana guna menutup kekurangan biaya penyelenggaraan pendidikan dengan cara menetapkan berbagai pungutan yang dibebankan pada rakyat (orang tua mahasiswa). Perlu diketahui bahwa UU BHMN menetapkan bahwa pemerintah pusat hanya menanggung sebagian dana yang dibutuhkan untuk menyelenggaran pendidikan di universitas yang berstatus BHMN, sedangkan kekurangan dana harus ditanggung oleh universitas. Untuk menutup kekurangan dana tersebut, pengelola kampus diperkenankan untuk mencari tambahan dana dari sumber lain, antara lain dari orang tua mahasiswa.
Penetapan biaya pendidikan yang relatif mahal yang harus ditanggung oleh orang tua mahasiswa telah menggerus citra Universitas Gadjah Mada sebagai universitas ndeso dan memunculkan citra baru Universitas Gadjah Mada sebagai universitas yang mahal. “ Banyak keluarga miskin yang tidak berani menyekolahkan anak-anak mereka ke UGM karena takut tidak dapat memenuhi biaya pendidikannya”, terang penyaji. “Oleh karena itu wajar apabila pada saat ini hanya orang-orang kaya yang dapat kuliah di UGM, sedangkan orang-orang miskin harus gigit jari dan menjadi penonton saja.”, lanjutnya. Kondisi ini jelas kontraproduktif bagi citra universitas Gadjah Mada sebagi universitas ndeso, universitas yang memiliki keberpihakan kuat pada orang miskin dan lemah.
Bagi sebagian warga masyarakat, kondisi tersebut diterima begitu saja karena mereka telah termakan semboyan jer basuki mowo beyo, untuk memperoleh hal yang baik dibutuhkan biaya yang mahal. Namun bagi mereka yang paham dengan konstitusi, kondisi tersebut menimbulkan kegelisahan. Mereka memiliki anggapan bahwa hal itu merupakan pelanggaran terhadap amanat konstitusi. Argumentasi yang mereka sodorkan, dalam kontistusi Republik Indonesia dinyatakan bahwa pendidikan merupakan hak bagi seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu lembaga pendidikan harus memberikan kesempatan yang luas bagi seluruh rakyat untuk memperoleh pendidikan. Bila suatu lembaga pendidikan hanya menerima orang yang kaya saja, dan menolak orang yang miskin dan lemah maka lembaga tersebut jelas mengabaikan amanat konstitusi.
Internasionalisasi UGM
Hal lain yang menyebabkan banyak pihak memiliki pandangan bahwa saat ini Universitas Gadjah Mada telah bergeser dari visi kerakyatan adalah adanya kebijakan universitas yang kurang memiliki keberpihakan pada rakyat kecil. Sebagai contoh, kebijakan internasionalisasi universitas. Kebijakan tersebut telah mendorong banyak civitas akademika yang melakukan tri darma perguruan tinggi dengan orientasi semata-mata untuk meningkatkan peringkat UGM di kalangan internasional, namun melupakan persoalan riil yang dihadapi rakyat. Sebagai contoh, dalam hal riset, banyak dosen yang melakukan riset namun riset tersebut kurang terkait dengan permasalahan yang dihadapi rakyat kecil. Mereka lebih senang melakukan riset tentang permasalahan yang bersifat internasional karena menganggap hal itu lebih prestisius. “Sebagai gambaran, dalam bidang kesehatan, banyak orang Indonesia yang meninggal gara-gara penyakit DB, namun tidak ada ahli yang mau meneliti masalah tersebut. Mereka lebih suka meneliti masalah lain yang lebih bersifat prestisius, meskipun sebenarnya kurang relevan dengan permasalahan yang dihadapi rakyat Indonesia. Dalam bidang pertanian, banyak orang dari luar negeri yang ingin belajar sistem surjan yang dikembangkan petani Kulon Progo, sedangkan para peneliti di UGM tidak ada yang tertarik pada hal tersebut. Di bidang konstruksi, kita tidak bangga terhadap konsep/ide beton bertulang bamboo yang dikembangkan oleh ahli dalam negeri, dan lebih senang menerapkan ide yang dikembangkan ahli dari luar negeri.”, papar penyaji.
Selama ini, sebagian besar civitas akademika di UGM memandang bahwa program internasionalisasi hanya bisa dilakukan dengan mengadopsi ide dan pemikiran yang dikembangkan oleh sarjana dari luar, misalnya dengan mengirim dosen untuk studi ke luar negeri. Jarang dari kita yang berpikir bahwa program internasionalisasi bisa dilakukan dengan menawarkan berbagai kearifan local yang ada di Indonesia agar dapat mempengaruhi pemikiran para ahli di dunia barat. “Terus terang, kita lebih merasa bangga dengan hal-hal yang berbau luar negeri, dan cenderung meremehkan berbagai hal yang ada di dalam negeri. Padahal kearifan local yang dikembangkan oleh masyarakat Indonesia, banyak yang memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan yang berasal dari luar negeri.”, keluh penyaji.
Hal lain terkait dengan kebijakan internasionalisasi kampus yang kurang mencerminkan keberpihakan pada rakyat kecil dan lemah, menurut penyaji adalah pembukaan kampus UGM di Jakarta. Kebijakan ini dikritik sebagian kalangan sebagai upaya untuk menarik mahasiswa-mahasiswa dari kalangan berduit untuk kuliah di UGM. “Mengapa kita tidak membuka kampus di kota-kota yang kualitas pendidikannya masih belum memadai seperti Jaya Pura, Kendari, dll. Mengapa kita kita justru memilih Jakarta yang telah memiliki banyak perguruan tinggi yang berkualitas ?” Tanya penyaji.
Penutup
Seiring dengan pembatalan status Universitas Gadjah Mada sebagai perguruan tinggi BHMN muncul harapan baru dari para pecinta UGM, bahwa UGM akan kembali ke jati dirinya, yaitu sebagai universitas ndeso, universitas yang memiliki keberpihakan pada rakyat miskin dan lemah, universitas yang mampu menyelenggarakan pendidikan murah bagi rakyat namun tetap berkualitas, yang selalu memegang teguh Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, karena yang dibutuhkan oleh civitas akademika bukan fasilitas universitas yang mewah, namun suasana pendidikan yang kondusif yang dapat mendorong munculnya debat-debat akademis yang dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
“Pendidikan yang berkualitas sangat penting, namun hal itu jangan sampai mengorbankan hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, dengan membebankan kepada rakyat biaya pendidikan yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Sesuai dengan konstitusi, pemerintah merupakan pihak utama yang memiliki kewajiban menyelenggarakan pendidikan bagi rakyat” saran penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*(dc)