Peluang Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta

“Peluang terjadinya politik uang (money politics) dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta, relatif besar.” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 6 Mei 2010. Seminar yang telah berlangsung secara rutin setiap bulan sejak berdirinya PSPK-UGM tersebut, pada kesempatan itu menampilkan narasumber Wawan Mas’udi, SIP, M.PA, dosen jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, dengan moderator Prof. Susetiawan, peneliti senior PSPK UGM. Topik yang diangkat pada seminar tersebut adalah “Peluang Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah Di Daerah Istimewa Yogyakarta.”

“Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden 2009 yang banyak diwarnai dengan politik uang/jual beli suara, proses pemilihan kepala daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang akan di selenggarakan pada bulan Mei ini juga akan diwarnai dengan politik uang. Salah satu fenomena yang dapat dijadikan indikator terjadinya politik uang dalam pemilu Kada kali ini adalah terjadinya proses jual beli fotocopi KTP, yang akan dijadikan sebagai bukti adanya dukungan warga, yang merupakan syarat untuk menjadi calon bupati/wakil bupati.”lanjut penyaji. “Bukan merupakan rahasia lagi bahwa dalam setiap kampanye, para kandidat selalu membagi amplop bagi para peserta rapat, atau paling tidak menjanjikan sesuatu kepada audiens apabila kelak terpilih sebagai kepala daerah”.

“Jauh sebelum tahapan dalam proses pemilihan kepala daerah dimulai, pada umumnya para kandidat telah mencuri start kampanye dengan melakukan berbagai kegiatan yang dapat menarik perhatian/simpati massa, misalnya memasang spanduk/poster yang secara implisit menyiratkan adanya kampanye terselubung, dan banyak pula kandidat yang melakukan kunjungan ke berbagai lokasi dan bertemu dengan massa serta menjanjikan sesuatu agar memperoleh simpati dari massa.” papar mas Wawan.

Peluang terjadinya politik uang dalam pemilu kepala daerah semakin besar ketika banyak pihak luar yang sebenarnya tidak memiliki kepentingan langsung pada pemilu kepala daerah tersebut, ikut melibatkan diri. Para botoh, yaitu orang yang memanfaatkan proses pemilihan sebagai ajang pertaruhan, akan ikut bermain dalam proses pemilihan. Mereka akan mengerahkan sumber daya (terutama dana) yang dimiliki agar calon yang didukung dapat memenangkan pertarungan karena hal itu berarti bahwa ia juga akan memenangkan pertaruhan.

Akar Masalah

Maraknya politik uang dalam setiap pemilihan pimpinan di negeri ini, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden, terjadinya karena banyak faktor. Salah satu factor yang menjadi penyebab maraknya politik uang adalah belum adanya kesadaran dari sebagian besar rakyat Indonesia bahwa pemilu merupakan wahana yang paling efektif bagi penegakan kedaulatan rakyat. Sebagian besar rakyat Indonesia masih melihat peristiwa pemilu sebagai sarana untuk memperoleh kepentingan sesaat, dan salah satunya adalah uang. Mereka akan memberikan suara kepada kandidat yang berani memberikan uang kepada mereka, dan mereka tidak peduli apakah setelah memenangkan pemilihan sang kandidat masih mengingat jasa mereka.

Rendahnya kesadaran akan pentingnya even pemilihan umum bagi penegakan kedaulatan rakyat juga nampak dari sikap acuh yang ditunjukkan sebagian warga terhadap proses pemilihan umum. Karena tidak ada kandidat yang mendekati dan memberikan uang pada mereka. maka mereka enggan untuk memberikan suara mereka dalam pemilihan umum alias golput.

Rendahnya kesadaran politik rakyat menunjukkan bahwa selama ini negara dan partai politik telah gagal memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Selama berdirinya NKRI, belum nampak adanya partisipasi politik yang murni muncul dari hati nurani rakyat. Keterlibatan rakyat dalam setiap peristiwa pemilihan umum merupakan hasil mobilisasi, baik oleh rezim penguasa maupun elit politik Tingginya tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu pada masa Orde Baru sepenuhnya merupakan hasil mobilisasi rezim penguasa melalui alat-alat kekuasaan yang dimiliki, sedangkan tingginya tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu di era reformasi sepenuhnya merupakan hasil mobilisasi  elit partai politik melalui mekanisme politik uang.

Melihat kenyataan tersebut, banyak pihak yang mengatakan bahwa sebenarnya di negeri ini belum ada demokrasi, yang ada adalah demokrasi semu. Salah satu ciri dari demokrasi adalah adanya jaminan bagi terselenggaranya system kenegaraan yang dapat melindungi seluruh hak rakyat, demi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Di Negeri ini pemilihan umum sudah terselenggara beberapa kali namun kegiatan tersebut belum dapat mewujudkan system kenegaraan yang dapat melindungi seluruh hak rakyat, demi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pihak yang menjadikan pemilihan umum sebagai sarana untuk meraih kepentingan pribadi. Sebagian besar elit politik yang mencalonkan diri dalam pemilu apabila bersikap jujur akan mengatakan bahwa motifasi utama yang mendorong mereka untuk maju dalam pemilu  bukan untuk melayani rakyat, namun untuk memenuhi ambisi pribadi akan kekuasaan dan harta benda.

Motifasi meraih kekuasaan dan harta merupakan faktor lain yang mendorong terjadinya politik uang dalam pemilihan umum. Para kandidat sanggup untuk mengeluarkan modal uang dalam jumlah besar untuk membeli suara rakyat dengan harapan setelah memenangkan pemilihan akan mendapatkan peluang dan kesempatan untuk memperoleh kembali modal tersebut beserta dengan bunga/labanya. Perhitungan untung rugi inilah yang mendorong banyak pejabat negara melakukan tindak tercela yaitu kolusi, korupsi dan nepotisme. Banyak pejabat negara yang melakukan kolusi atau persekongkolan dengan pihak ketiga demi memperoleh komisi, ada pula pejabat yang melakukan korupsi dana milik negara/rakyat demi memperkaya diri, dan banyak pula pejabat yang melakukan nepotisme demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Solusi

Bagaimana kita bisa berharap terwujudnya sebuah negara yang mampu menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, dari sebuah system yang dibangun dari banyak kebohongan? Salah satu langkah yang dapat ditempuh agar politik uang  yang mengotori proses demokrasi di Indonesia dapat dihilangkan atau paling tidak dieliminir adalah dengan meningkatkan kesadaran politik rakyat. Sebuah kesadaran bahwa ada hal yang jauh lebih penting dalam suatu pesta demokrasi, bukan hanya sekedar menerima amplop yang berisi uang puluhan ribu sebagai ganti suara yang diberikan, namun proses penegakan kedaulatan rakyat. Melalui pemilihan umum, rakyat memiliki peluang untuk memberikan mandat atau mencabut mandat yang telah diberikan kepada seorang pemimpin. Mereka memiliki kesempatan untuk mengganti pimpinan/rezim penguasa yang tidak memiliki keberpihakan kepada kepentingan rakyat dengan pimpinan yang memiliki kepedulian dan menjamin terselenggaranya kepentingan rakyat. Apabila rakyat telah memiliki kesadaran tersebut maka berapapun jumlah uang yang ditawarkan oleh seorang kandidat dalam sebuah pemilihan umum, maka mereka tidak akan mendukung atau memberikan suara mereka kepada kandidat tersebut apabila sang kandidat tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat. Pertanyaannya adalah siapakah yang memikul kewajiban untuk membangun kesadaran demokrasi rakyat? Jawabannya adalah semua pihak yang memiliki kepedulian pada masalah tersebut, baik akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, partai politik atau organisasi sosial kemasyarakatan.*** (dc)