“Buku Max Havelaar ketika diterbitkan tahun 1860, mendapatkan reaksi besar pada masyarakat Belanda. Buku itu dipersembahkan kepada Ratu Beatrix oleh penulisnya, Multatuli, sebagai laporan terjadinya persoalan eksploitasi di tanah Jawa. Membaca buku tersebut, serentak masyarakat Belanda disuguhi “cerita” bagaimana perilaku kolonial di Indonesia. Walaupun tidak sangat terpengaruh oleh buku itu, namun pelan-pelan kebijakan Belanda di Indonesia mengalami perubahan. Buku Max Havelaar ini diterjemahkan dari Bahasa Belanda oleh H.B. Jasin ke dalam Bahasa Indonesia pada tahun 1972 dan pada tahun 1973 dicetak ulang.“ Demikian paparan penyaji membuka seminar bulanan di PSPK UGM yang diselenggarakan pada hari Kamis, tanggal 8 April 2010 di ruang sidang besar PSPK UGM. Seminar yang sudah menjadi tradisi setiap awal bulan tersebut pada kesempatan itu menampilkan seorang pembicara, Drs. Arief Ahyat, MA, dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang diangkat pada seminar tersebut adalah “Seksualitas di Jawa pada Awal Abad XX”.
“Buku Multatuli bercerita tentang Saijah dan Adinda dibawah bayang-bayang Kolonial. Mitos kolonial kejam dan menakutkan menjadi sangat romantis dan mengharukan, walaupun masih dibumbui dengan cerita dendam dan kebencian terhadap bupati yang menerima gaji tidak masuk akal jumlahnya ditambah dengan cara-cara memperolehnya yang menurut ukuran sekarang sangat koruptif dan eksploitatif. Pertentangan itu kemudian membuat Multatuli mengundurkan diri dari asisten residen. Sikap Multatuli itu membuat seorang Pramoedya Ananta Toer menyimpulkan bahwa obor kesadaran akan jati diri masyarakat merdeka mulai dikobarkan. Buku Max Havelaar mempunyai bobot tersendiri ketika pembacaan keperempuanan dibaca ulang dalam genggaman kolonialisme”, lanjut penyaji.
Seksualitas dan Praktik Kolonialisme
Rudolf Mrazek(2002) pernah mendeskripsikan bahwa Jawa sejak pembukaan awal jalan Deandeles tahun 1808 yang disebut sebagai groote postweg (jalan raya besar) dan dibukanya jalur kereta api (tram uap) antara Semarang-Demak-Kudus-Juwana pada tahun 1883-an, aktivitas ekonomi semakin dinamis. Banyak kaum perempuan setengah baya dan tua merespon jalur transporatsi itu dengan berbagai kegiatan ekonomi. Kaum laki-laki hanya mengantar di gang-gang jalan dan membantu menaikkan dagangan ke atas dokar atau andong. Perkembangan jalur kereta api dan pembukaan jalur Deandeles ini menciptakan formasi baru kebijakan kolonial. Yang sebelumnya didominasi masyarakat kota sebagai pelaku utama, pada perkembangannya masyakarat pedesaan mulai terintegrasi dalam kegiatan ekonomi kota.
Dorongan kuat yang kedua adalah proses komunalisasi tanah-tanah di Jawa yang diperkirakan memiliki dampak yang cukup besar bagi hancurnya tata ekonomi ditambah masa paceklik (kekeringan yang panjang) dan pagebluk(berbagai penyakit tanaman dan manusia muncul) di pedesaan. Banyak di antara kaum perempuan merantau baik ke kota maupun desa-desa lain. Mereka tidak jarang larut dalam ganas dan hedonisme kota sehingga mereka harus bertempat tinggal di kampung-kampung kota, dan tanah-tanah lapang di dekat stasiun maupun pelabuhan dengan membuat tempat-tempat berukuran sekitar 4×4 m dengan kondisi yang kumuh dan memprihatinkan (H.F. Tillema :1915-1916). Kondisi demikian tidak jarang mereka harus bertahan dengan melakukan praktik-praktik prostitusi.
Hal lain yang dapat dijumpai adalah ternyata praktik-praktik prostitusi maupun pergundikan juga terjadi di daerah pedesaan. Berdasarkan sumber lisan, pada masa Portugis di daerah-daerah perkebunan di Jepara Utara, sebagai contoh juga banyak praktik prostitusi dan pergundikan, juga perkawinan silang antara laki-laki Portugis dan perempuan penduduk asli. Bukti-bukti sekunder dapat dilacak pada tipologi masyarakat keturunan Portugis sekitar Sambungoyot dan lereng Gunung Danaraja (SP Gustami: 2000: Thohir:2006). Pada masa Belanda, banyak terjadi perekrutan pekerja perempuan di perkebunan tebu, kopi dan juga karet di Daerah Balong, Keling, Jepara.
Laporan Belanda yang berkaitan dengan praktik-praktik prostitusi dan pergundikan di Jawa sangat sedikit sekali. Perceraian yang ditemukan banyak terjadi di daerah Krawang, Cirebon dan Batavia jarang dilaporkan di daerah lain seperti di Jepara, Pati, Juwana, Rembang dan kota-kota kecil lainnya (Boomgaard: 1989). Sampai pada masa kemerdekaan, masyarakat Indies yang menjadi bukti perilaku pergundikan (per-Nyai-an) pada zaman Belanda banyak ditemukan, di daerah Semarang, Batavia dan Surabaya. Di Yogyakarta, banyak terjadi praktik poligami yang sangat populer pada tahun 1920 (1,4 % dari toral penduduk DIY) dan 1930 (2,4 %). Jika dibandingkan dengan Jawa Timur pada tahun yang sama hanya 1,6 %, Jawa Tengah 2,3% dan Jawa Barat 1,8 % (Timmer: 1961).
Pada masa krisis 1930-an, banyak buruh perempuan industri tenun, buruh furniture dan keramik yang diberhentikan. Namun, bersamaan dengan itu, banyak bermunculan warung-warung dan pasar desa yang merespon pembangunan infrastruktur yang ada sepanjang Pantai Utara Jawa (Akhyat: 1997; Fernando: 1996). Salah satu catatan yang penting adalah ternyata krisis 1930 itu membuat banyak petani dari pedesaan yang kering seperti Grobogan, Jepara, Pati, Juwana, Demak, melancong dan mengembara sambil mencari pekerjaan. Pada mulanya kaum lelaki saja, tetapi kemudian diikuti perempun dan anak-anak. Hiburan para pengembara ini biasanya minum candu, berjudi dan ronggeng yang menggairahkan (SP. Gustami: 2000).
Hadirnya para pemain ronggeng, taledhek atau ledhek di Jawa, dan praktik-praktik pergundikan serta prostitusi sangat kuat diduga bermunculan bersamaan dengan tidak hanya karena proses “involusi” ekonomi pertanian, tetapi juga munculnya gejala urbanisasi akibat jaringan ekonomi desa-kota yang semakin intensif. Praktik-praktik itu ada yang dilakukan disekitar perkebunan dan Stasiun. Seperti stasiun Tawang Semarang (Ingleson: 1986), Stasiun Beos (Stasiun Kota, Jakarta), Stasiun Senin (Jakarta), Stasiun Kestalan (stasiun Balapan Solo). Di samping itu juga muncul beberapa tempat prostitusi seperti Bendungan Hilir, Bongkaran, Kali Malang, Kaligot, Gang Mangga dan Petamburan, dan Gang Hamber yang semuanya di Batavia.
Pada tahun 1930, perkembangan kota Solo juga ditandai dengan munculnya pusat prostitusi seperti Banjarsari, Turisari, Cinderejo (Terminal Tirtonandi), Sangkrah, Alun-Alun Kidul, Semanggi, Sangkrah dan sepanjang jalan Pasar Legi. Di Surabaya ditemukan beberapa pusat prostitusi yaitu didaerah Tanjung Perak, Banyu Urip, sehingga antara Banyu Urip sampai pelabuhan Tanjung Perak disebut jalan pelacur (prostitution street). Pada mulanya mereka berasal dari Macao maka mereka sering disebut dengan Macao Po. Germo mereka biasanya dari orang-orang Portugis dan Cina. Sementara dalam perkembangannya para pelaku prostitusi itu ada yang Melayu, Indo, orang Eropa dan Jepang (Karayuki-San) (Hiroshi: 1992).
Pelaku prostusi itu biasanya digolongkan menjadi kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Kelas atas biasanya pelakunya Indo, Eropa, Kelas menengah biasanya Cina dan Jepang dan Kelas bawah biasanya orang Melayu atau Jawa. Pada tahun 1939, dilaporakn bahwa tarif kelas atas adalah 2,50 gulden, kelas menengah 1 sampai 2 gulden dan kelas bawah 1 gulden (Ingleson:1986).
Jumlah pelaku prostitusi di Surabaya pada tahun 1864 adalah 228 dengan 18 rumah bordil. Jumlah itu meningkat pada tahun 1869 dan semakin banyak pada tahun-tahun krisis 1920-1930. Orang Eropa biasanya suka dan dianjurkan memakai perempuan Eropa, Cina, Jepang dan lokal. Tetapi orang Jawa, Cina maupun Jepang tidak boleh memakai perempuan Eropa. Pada tahun 1852 pernah dikeluarkan peraturan untuk menanggulangi prostitusi, tetapi tidak berhasil. Bahkan semakin tingginya imigran dari pedesaan yang hidup di kampung-kampung perkotaan, semakin tinggi jumlah prostitusi. Bahkan pada tahun 1867 pernah diumumkan, siapapun polisi yang berhasil membawa pelaku prostitusi akan diberi hadiah 10 gulden. Setiap bulan, para pelaku prostitusi itu diharuskan cek kesehatan dan membayar retribusi ke pemerintah antara 1 sampai 2 gulden. Di Yogyakarta pada tahun 1811, merupakan kota pertama yang didirikan rumah sakit khusus untuk penyakit sipilis (Ingleson: 1986). Pada tahun 1897, Fujita melakukan perjalanan ke Jawa, ia menemukan bahwa ada 125 penduduk Jepang laki-laki dan 100 perempuan Jepang di sebuah barak militer. Menurut Fujita, kebanyakan perempuan tersebut adalah pelaku prostitusi (karayuki-San). Pelaku prostitusi Jepang ini banyak ditemukan di Jawa daripada luar Jawa. Mereka kebanyakan datang melalui Singapore dan Malaysia dengan agen pemerintah Jepang.(Hiroshi: 1986)
Pada tahun 1920, diluncurkan peraturan untuk mengendalikan praktik-praktik prostitusi. Di Bandung ada 900 pelaku prostitusi dipulangkan ke desa-desa mereka. Pada tahun 1902 dan 1912 dilaporkan banyak penduduk terjangkiti penyakit sipilis, dari orang Eropa ada sekitar 6,5 % orang, 5,47 orang pribumi dan 13,11 % orang Cina (Ingelson: 1986). Pada tahun 1913, Ijin pendirian rumah bordil diperketat. Sekolah kedokteran didirikan untuk menangani penyakit kelamin di Bandung dan kemudian disusul Batavia.
Di Semarang, pada tahun 1932 peningkatan permasalahan kampung di kota semakin meningkat jumlahnya. Ada 281 migran perempuan yang datang ke Kota Semarang, mereka mencari pekerjaan dan ada sekitar 209 yang masih menunggu pekerjaan. Di kota Semarang pada waktu itu, ada sekitar 137 desa dan kampung, penduduknya kebanyakan pendatang dan tidak memiliki pekerjaaan tetap dan tempat tinggal mereka becek dan sering kemasukan lumpur jika hujan. Perjudian, minum candu dan praktik prostitusi semakin semarak dan hal itu didukung dengan berbagai fasilitas penjualan secara bebas obat kuat dan perangsang yang banyak bermunculan di iklan koran-koran. Pada tahun 1927, Partai Indonesia Raya, Boedi Oetomo, Sarikat Islam getol untuk memerangi dan mengusulkan cara mengatasi perjudian, prostitusi dan minuman keras. Pada tahun 1912, SI dibawah pimpinan Tjipto Mangoenkoesoemo melakukan aksi demonstrasi anti-prostitusi di Kota Semarang. Hal ini kemudian diikuti oleh gerakan anti-prostitusi dari Bandung bersama Madjoe Kamoelian pada 30 April 1914.
Antara tahun 1902-1912 dilaporkan bahwa ada sekitar 6,5 % orang Eropa, 5,47 % orang pribumi dan 13,11 % orang Cina kejangkitan penyakit sipilis. Hal ini menunjukkan bahwa prostitusi adalah bagian kehidupan masyarakat kolonial, baik dari masyarakat pribumi sampai orang-orang Eropa. Gejala prostitusi inipun juga direspon para sastrawan melayu rendahan dengan membuat karya-karya sastra seperti novel Nyia Dasima,Nyai Paina, Cerita Rossina, Oeij Se, Loe Fen Koei, Cerita Nyai Ratna, Hikayat Siti Mariah, Percintaan Dalem Rasia, Nona Fientje de Feniks (Jacob Sumardjo: 2004).
Seksualitas dan Neo-Kartinian
Keberadaan tokoh perempuan dalam setting Jepara, seperti R.A Kartini, bukan hanya hadir karena keterpaksaan kesejarahan, namun juga dihadirkan dalam sejarah. Pada pernyataan awal mengisyaratkan tokoh legendaris itu adalah legenda yang dibungkus sejarah. Pengabsahannya hanya pada saat “politik ingatan” dibutuhkan. Maka muncul upacara-upacara, ritual dan simbol-simbol untuk menandai hadirnya sejarahnya. Pada pernyataan kedua, tokoh legendaris itu adalah bagian dari sejarah dan sekaligus sebagai pembuat sejarah. Pada konteks ini, kehadirannya kemudian menjadi bagian atau seluruhnya dari sebuah sejarah. Historisisme kemudian menjadi penting dan tidak hanya sekedar historik. Masa lalu adalah masa kini, masa kini adalah masa lalu yang berproses. Neo-Kartinian akan melihat posisi perempuan yang tidak sekedar sebagai pleroma sejarah (pemenuh sejarah), namun juga akan membukakan mata dunia tentang perempuan dan sejarahnya.
Prinsip-prinsip seksualitas larut dalam skema “ingatan” yang dipolitisir sebagai bagian proyek kolonial. Hal ini bukan hanya berdampak pada kebijakan kolonial dan praktik-praktik kolonial, tetapi juga ada proses “reciprocal relationship” yang jika meminjam hipotesis Neo-Marxism sebagai proses yang berujung pada “desertation” (peng”gurun”an) , suatu masyarakat tanpa bentuk, tetapi memiliki kekuatan yang mengguncang karena ada ideologi-ideologi di dalamnya. Seksualitas, seringkali hanya dipandang seperti bagian “politik ingatan”, yang hadir saat dipergunjingkan. Neo-Kartianian, melihat Seksualitas sebagai “Sejarah”. Ada proses “absorption” yang sangat kuat menghilangkan keidentitasan. Hal ini memungkinkan terjadinya “persilangan budaya” antara Cina-Jawa, Jepang-Cina, Jawa-Belanda dsb. Bahkan tradisi “Indies” dan “Indo” merupakan bentuk-bentuk artefak seksualitas yang kongkrit.
Penutup
Prostitusi dan seksualitas adalah dua hal yang berbeda tetapi dalam wajah yang sama. Prostitusi dan seksualitas menjadi alat kontrol dalam proses kolonialisasi dan kolonisasi dalam persepktif kolonial, tetapi disatu sisi, prostitusi sebagai lahan subur dalam proses kegiatan subtitusi ekonomi dan sosial budaya. Keidentitasan menjadi kabur, karena prostitusi menyediakan lahan subur dalam proses inkulturasi, kapitalisasi dan kolonialisasi.”, demikian paparan penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*