“Pengurangan Resiko Bencana (PRB) merupakan program yang sangat mendesak untuk segera dilakukan oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan seluruh komponen masyarakat karena sebagian besar rakyat Indonesia hidup di daerah yang memiliki potensi tinggi terjadinya bencana alam. Apabila program ini tidak segera dilaksanakan maka potensi jatuhnya korban, baik harta benda maupun nyawa akan sangat besar. Hal itu terjadi karena dari perspektif geologis Indonesia merupakan daerah yang terletak di titik pertemuan lempeng bumi, yaitu lempeng Eurasia dan Indo Australia, yang selalu bergerak sehingga berpotensi menimbulkan retakan/patahan yang dapat menyebabkan terjadinya gempa dan tsunami.” Demikian pernyataan pembicara dalam seminar bulanan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada hari Kamis tanggal 4 Maret 2010. Seminar yang telah menjadi tradisi rutin setiap hari Kamis minggu pertama tersebut, pada kesempatan itu menampilkan pembicara, Dr. Ir. Dwikorita Karnawati seorang pakar kebencanaan dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan moderator Drs. Suharman, M.si, wakil kepala PSPK UGM. Topik yang diangkat pada seminar sore tersebut adalah “Pengurangan Resiko Bencana di Kawasan pedesaan”.
“Berbeda dengan paradigma yang selama ini dianut oleh pemerintah yang hanya memandang kegiatan pengurangan resiko bencana sebatas dari sisi teknis kebencanaan, pembicara bersama rekan-rekan dari Fakultas Teknik UGM telah mencoba untuk melaksanakan model baru PRB yaitu Pengurangan Resiko Bencana yang berbasis pendekatan holistik/menyeluruh. Program tersebut bukan hanya menyentuh aspek teknis tetapi juga aspek sosial ekonomi dan budaya. Pendekatan ini dikembangkan atas dasar kenyataan bahwa masyarakat yang memiliki ketahanan ekonomi baik ternyata juga memiliki ketahanan terhadap bencana yang baik pula. Kasus bencana gempa bumi yang melanda wilayah Chile yang menimbulkan jumlah korban yang jauh lebih sedikit dibanding dengan kasus bencana Gempa di Haiti merupakan salah satu fakta yang mendukung asumsi tersebut. Meskipun bencana gempa di Chile memiliki magnitudo lebih besar dari bencana gempa di Haiti, namun kejadian tersebut menimbulkan korban jiwa yang jauh lebih sedikit di banding dengan bencana gempa di Haiti. Kondisi sosial ekonomi warga masyarakat Chile yang lebih baik dari warga masyarakat di Haiti merupakan faktor penentu hal tersebut“, lanjut Dr Rita, yang pada saat ini menjabat sebagai ketua jurusan teknik geologi, Fakultas Teknik, UGM.
Kesenjangan persepsi tentang bencana antara masyarakat dengan akademi merupakan kendala tersendiri dalam pelaksanaan kegiatan PRB. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa banyak anggota masyarakat yang enggan untuk meninggalkan suatu lokasi yang berdasarkan pandangan akademisi memiliki potensi tinggi terjadi bencana karena takut kehilangan sumber penghasilan keluarga. “Mereka enggan untuk meninggalkan lokasi karena takut tidak bisa makan.”, tegas pembicara. Bahkan ada sebagian masyarakat yang enggan untuk menerima program PRB, karena menganggap program tersebut hanya akan mengganggu kehidupan mereka. Kondisi tersebut apabila tidak diantisipasi dapat menyebabkan kegagalan program PRB. “Oleh karena itu dalam setiap pelaksanaan program PRB, kami selalu melibatkan ahli dari ilmu-ilmu sosial.”, papar penyaji. “Seperti yang pernah kami lakukan di Karanganyar dan Padang, kami melibatkan tim bukan hanya yang berasal dari ahli geologi tapi juga ahli sosiologi, antropologi dan psikologi. Para ilmuwan sosial tersebut bertugas untuk mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima program dengan baik, dengan mempelajari terlebih dahulu kondisi sosial budaya masyarakat.”
Dari kajian sosial budaya yang dilakukan oleh ilmuwan sosial diperoleh pemahaman bahwa masyarakat jauh lebih mementingkan ketahanan ekonomi dibandingkan dengan keselamatan dari bencana. Ada sebagian warga yang tinggal di lereng gunung yang memiliki potensi longsor tinggi, namun mereka enggan pindah dari lokasi tersebut karena sumber penghidupan mereka ada di lokasi tersebut. Ada pula warga masyarakat yang enggan menerima pemasangan alat deteksi bencana tanah longsor karena takut alat tersebut dapat mengganggu ternak mereka dan mengurangi ruang gerak. Di tempat lain, ada warga yang tega mencuri alat deteksi gempa dan tsunami yang baru dipasang hanya untuk dijual kembali ke pedagang rongsok. Kondisi ini menyadarkan kita semua bahwa PRB bukan hanya berkutat pada masalah teknis kebencanaan, tetapi juga mencakup aspek ekonomi. Disamping memperkuat ketahanan terhadap bencana, program PRB juga harus dapat memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Namun program ketahanan ekonomi juga harus memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat. Untuk kasus PRB di Karanganyar yang kami laksanakan berberapa bulan yang lalu, kami mencoba memadukan kegiatan teknis penanggulangan bencana dengan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga melalui penanaman pohon albasia. Disamping dapat meningkatkan daya dukung lingkungan melalui penghijauan, kegiatan tersebut juga dapat meningkatkan penghasilan rumah tangga melalui penjualan kayu dan pemanfaatan hijauan untuk pakan ternak. Sedangkan di daerah padang kami memadukan kegiatan teknis penanggulangan bencana dengan pengembangan enterpreneurship/jiwa kewirausahaan.
Salah satu keunikan dari model PRB yang kami laksanakan adalah dengan melibatkan mahasiswa melalui kegiatan KKN. Di dua lokasi tersebut, kami menerjunkan mahasiswa yang sebelumnya telah dibekali dengan berbagai pemahaman tentang penanggulangan bencana untuk membangun kesadaran di kalangan masyarakat akan arti pentingnya pengurangan resiko bencana. Hampir 2 bulan mereka live in di lokasi, hidup dan bergaul akrab bersama masyarakat. Para mahasiswa tersebut bukan hanya memberikan pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana, tetapi juga membimbing masyarakat untuk melakukan simulasi penanggulangan bencana. Pemberian kesempatan yang seluas-luasnya pada masyarakat dalam kegiatan penanggulangan bencana, misalnya melibatkan mereka dalam pembuatan peta potensi bencana dan strategi penanggulangannya juga dilakukan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa masyarakat lokal, meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang kurang memadai namun memiliki pemahaman yang cukup tentang bencana yang ada di daerahnya. Setiap masyarakat memiliki kearifan lokal tentang bencana yang ada dilingkungan tempat tinggalnya dan strategi penanggulangannya yang sesuai atau tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para akademisi.
Terkait dengan materi yang dipaparkan oleh penyaji, terlontar berbagai pertanyaan dari peserta seminar. Antara lain pertanyaan tentang strategi yang ditempuh agar program yang telah dilaksanakan dapat tetap lestari/sustainabel. Menanggapai pertanyaan tersebut Dr. Rita menjelaskan bahwa tim telah memikirkan hal itu dengan tetap menjalin komunikasi intensif dengan warga dampingan. Meskipun kamib telah meninggalkan lokasi tersebut namun jalinan komunikasi di antara kami tetap dijaga. Mereka setiap saat dapat berkonsultasi dengan kami baik secara langsung maupun dengan alat komunikasi. Pertanyaan lain yang dilontarkan peserta, apakah program yang telah dilaksanakan tim dapat diterapkan pula di kampung Naga, Tasikmala, yang terkenal sebagai masyarakat yang tradisional dan sangat anti dengan semua hal yang bersifat modern (barang-barang modern). Sementara lingkungan tempat tinggal mereka juga berpotensi terjadi bencana. Menanggapi hal tersebut, Bu Rita menjelaskan bahwa pada prinsipnya program PRB dapat dilaksanakan dimanapun, namun dengan satu syarat, sebelum dilaksanakan harus dilakukan pengkajian terlebih dahulu karakter masyarakat di daerah terseut. Melalui pengkajian ini kita akan dapat memperoleh pemahaman tentang sifat atau karakter masyarakat sehingga dapat menyusun strategi agar program PRB dapat diterima oleh masyarakat tersebut. *** (dc)