Pancasila dan Implementasinya dalam Pandangan Masyarakat Pedesaan

Pada hari Kamis tgl 25 Februari 2010 di PSPK UGM dilaksanakan seminar setengah hari dengan topik “Pancasila dan Implementasinya dalam Pandangan Masyarakat Pedesaan”. Seminar menghadirkan dua orang narasumber yaitu Bapak E. Suharjendro dan Bapak Y.S Murdowo, dua orang warga masyarakat pedesaan yang memiliki kepekaan batin dalam melihat situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini, khususnya dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan dua orang akademisi yang bertindak sebagai pembahas, yaitu Arie Sujito (dosen Sosiologi UGM) dan Sindung Tjahyadi (Kepala Pusat Studi Pancasila), dengan moderator Drs. Suharman, M.si, wakil kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM (PSPK UGM).>

E. Suharjendro yang merupakan seorang budayawan dan tinggal di daerah pedesaan Kabupaten Bantul telah menuangkan keresahan hatinya terkait dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini dalam sebuah tembang mocopat (lagu Jawa) yang berjudul “Murcane Pancasila”. Di dalam lagu tersebut, ia menyatakan bahwa situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini telah jauh dari nilai-nilai Pancasila. Pancasila yang telah disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia sebagai dasar negara, yang berarti menempatkannya menjadi pedoman hidup seluruh rakyat Indonesia, ternyata pada saat ini secara diam-diam telah ditinggalkan. Meskipun di setiap kantor pemerintahan hingga saat ini masih dipasang gambar burung garuda namun keberadaannya sebatas sebagai hiasan belaka. Sebagi bukti, banyak pejabat negara yang masih melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan banyak warga masyarakat yang hidup dengan sesuka hati, tanpa peduli pada aturan yang berlaku dalam masyarakat.

Secara karikatural, E. Suharjendro melihat bahwa Pansila sebagai dasar negara Indonesia telah hilang diganti dengan Pancamurka. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa telah diganti dengan Keuangan yang Maha Kuasa, sila kedua Kemanusiaan yang Adil Dan Beradap telah diganti dengan Kemanusiaan yang Zalim dan Biadap, sila ketiga Persatuan Indonesia telah diganti dengan Perpecahan Indonesia, sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan telah diganti dengan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Kekerasan dan Penipuan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia diganti dengan Kezaliman Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sepemahaman dengan E. Suharjendro, YS Murdowo sebagai penyaji kedua juga melihat hal yang sama dengan apa yang dilihat oleh penyaji pertama, bahwa pada saat ini Bangsa Indonesia telah meninggalkan nilai-nilai Pancasila dan diganti dengan nilai-nilai lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai seorang pelukis, YS Murdowo menuangkan hasil pengamatannya dalam sebuah lukisan yang berjudul “Garuda Biru”. Sebuah lukisan yang menggambarkan bagaimana burung Garuda yang nerupakan lambang negara telah tersingkir dari posisi sentral kehidupan bangsa Indonesia dan diganti dengan nilai-nilai lain. Sang pelukis menggambarkan burung garuda dalam ukuran yang sangat kecil, berwarna biru dan berada di bawah. Sangat kontras dengan gambar burung-burung lain yang berukuran besar dan berada di atas. Warna biru menggambarkan bagaimana Pancasila sebagai dasar negara telah mengalami banyak luka diakibatkan oleh masuknya nilai-nilai baru dalam kehidupan bangsa Indonesia yang bertolak belakang dengan nilai Pancasila, posisi bawah menggambarkan bagaimana nilai-nilai Pancasila telah tersingkir, telah diabaikan oleh rakyat Indonesia karena mereka lebih senang untuk menganut nilai-nilai baru yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilaiPancasila.***(dc)