Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan LAURA UGM dan PT Pertamina Rosneff PP mengadakan kegiatan studi “Rapid Respons Pemberdayaan Masyarakat dan Penguatan Kelembagaan Sosial Budaya Masyarakat Desa Wadung dan Sumurgeneng, di Kecamatan Jenu, Tuban, Jawa Timur”. Riset ini bertujuan untuk mengidentifikasi isu dan masalah yang dihadapi dua masyarakat tersebut paska mendapatkan ganti untung atas pembebasan tanah dan bagaimana mereka menggunakan kelembagaan sosial untuk mengatasi masalah. Penelitian aksi ini juga berupaya untuk memfasilitasi penguatan kelembagaan sosial tersebut.

Riset aksi partisipatoris ini menggunakan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dalam mengidentifikasi isu dan masalah, serta merumuskan rencana aksi. Output yang diharapkan adalah : (1) Teridentifikasinya isu, dan masalah sebagai dampak sosial dari pembebasan tanah dengan ganti untung pada masyarakat Desa Wadung dan Sumurgeneng. (2) Teridentifikasinya potensi kelembagaan sosial di Desa Wadung dan Sumurgeneng yang berfungsi untuk mengorganisasi kebutuhan ekonomi dan sosial paska ganti untung. (3). Terfasilitasnya masyarakat Desa Wadung dan Sumurgeneng dan para pemangku kepentingan dalam memperkuat kelembagaan agar ganti untung atas pembebasan tanahnya menjadi keberkahan secara sosial-kultural. (4). Tersusunnya usulan program aksi jangka pendek partisipatoris.

Studi aksi Rapid Response menghasilkan temuan tentang isu dan masalah dari dampak ganti untung atas pembebasan tanah di desa Wadung dan Sumurgeneng. Isu dan masalah itu mencakup lima hal itu, yaitu :

Pertama, pemanfaatan ganti untung melahirkan isu dan masalah yang konotasinya negatif bagi warga Wadung dan Sumurgeneng. Mereka dicitrakan buruk karena ganti untung dihamburkan untuk memuaskan budaya konsumtif. Faktanya mereka justru menjadi korban media massa. Studi membuktikan bahwa mereka memiliki potensi kelembagaan investasi baik disektor pertanian, peternakan, dan non-farm. Pranata yang mereka miliki mengarahkan tindakan untuk menjadi petani mandiri, dan tersedianya pranata bagi mereka untuk mencari tanah pengganti, mengembangkan peternakan dan usaha non-farm. Karena itu, mereka menginvestasikan sebagian besar ganti untung untuk membeli tanah, meningkatkan kualitas ternak, membuka usaha non-farm, dan menginvestasikan di aset rumah.

Mereka juga mempunyai potensi kelembagaan mengalokasikan ganti untung sebagai rezeki untuk dana sosial. Kelembagaan yang ada merupakan pranata agama di komunitas, sehingga dana lebih banyak dialokasikan untuk amal jariyah dan zakat yang berkaitan dengan kebutuhan beribadah bukan ke urusan kemanusiaan yang luas.

Dana yang dialokasikan untuk meningkatkan status sosial dan konsumsi relatif kecil, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakan mereka itu konsumtif. Selain itu, mereka tetap menjaga pertukaran sosial berbasis pada solidaritas sosial dan kesetaraan, sehingga ganti untung yang besar tidak mendestruksi relasi sosial yang telah mereka bentuk dengan baik.

Kedua, orang Wadung dan Sumurgeneng terancam penghidupannya karena tanah sebagai sumber penghidupan telah berkurang secara signifikan. Mereka menghadapi keterancaman di sektor pertanian dan non-farm. Namun demikian, studi ini masih melihat bahwa warga memiliki institusi yang memberi akses dan hak untuk mengembangkan usaha tani secara lebih maju melalui berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam budidaya tanaman unggulan. Selain itu mereka juga mengenal berbagai pangan ternak, mengembangkan kerja sama pembuatan pakan ternak. Tidak kalah penting warga juga mengenal usaha non-farm dan sebagian kecil warga telah merintisnya karena terdapat peluang sebagai akibat dari masuknya proyek pembangunan kilang minyak. Mereka membuka usaha kamar indekos, kios dan ruko meskipun belum bisa berkembang karena pandemi Covid-19.

Ketiga, studi ini mencatat bahwa relokasi telah menimbulkan masalah disintegrasi komunitas dan terancamnya kesejahteraan bersama, keterasingan warga di tempat relokasi tujuan dan hilangnya identitas komunitas di tempat relokasi maupun di tempat asal. Namun demikian, studi ini juga mencatat terdapat potensi kelembagaan untuk membangun integrasi sosial sebagaimana lahirnya forum TRB untuk menjalankan pranata sosial yang berorientasi untuk mengelola pembangunan sosial dan santunan kemanusiaan.

Keempat, studi ini mengungkapkan bahwa kelembagaan program pemberdayaan yang pernah masuk ke desa Wadung dan Sumurgeneng miskin konsep pemberdayaan. Program tersebut lebih bersifat top down, administratif dan karitatif sehingga justru rumusan kelembagaan di tingkat lokal yang mengarahkan program bersifat bottom up, partisitipatif dan mengandalkan pada kekuatan agensi dari dalam desa. Terdapat bukti bawa sejumlah agensi dari desa mampu menjalankan peran untuk menjadi mitra program pemberdayaan. Sebagian dari mereka seperti GP Ansor, Karang Taruna, dan Fatayat NU mampu menjadi organisator dari program yang kelembagaannya berorientasi pada pemberdayaan.

Kelima, pemberitaan media massa yang mengikonkan Sumurgeneng dan Wadung sebagai kampungnya miliarder baru dengan budaya konsumtifnya telah mengancam keamanan, kearifan lokal dan mengabaikan kesulitan mereka untuk menemukan jalan dalam melakukan investasi dan pemulihan penghidupan yang lebih baik. Dengan memakai pendekatan PRA warga di dua desa ini kemudian percaya dan berani membuat video yang mengangkat tema pemajuan desa sebagai counter hegemoni atas pemberitaan media massa yang negatif. Sebagai riset aksi, studi ini berhasil dalam membangun kesadaran warga untuk melakukan penguatan kelembagaan sosial yang berfungsi bagi mereka dalam memecahkan berbagai isu dan masalah pasca ganti untung pembebasan tanah. Kesadaran itu dibangun melalui observasi partisipan, PRA pembuatan video pemajuan desa, dan workshop komunitas desa dan kecamatan.

Sejumlah agenda penguatan kelembagaan juga telah tersusun melalui serangkaian kegiatan observasi partisipan, workshop di tingkat komunitas, desa dan kecamatan yang digodok lagi oleh tim peneliti guna menghasilkan rekomendasi yang lebih objektif dan aspiratif. Hasil penggodokan agenda penguatan kelembagaan sebagai solusi atas masalah sosial pasca ganti untung penting adalah sebagai berikut: Pertama, penguatan kelembagaan investasi di berbagai bidang, khususnya di bidang pertanian dengan mengembangkan kelembagaan yang bersifat organik, dapat dikelola oleh komunitas atau desa. Kedua, penguatan kelembagaan penghidupan berkelanjutan dengan membangun forum kerja sama sharing rencana bisnis sehingga masyarakat mengenal tata kelola dan manajemen bisnis yang aman, fairness, memiliki bisnis yang berbasis pada kekuatan modal material dan modal sosial. Ketiga, penguatan kelembagaan dalam kerangka untuk membangun kembali identitas dan integrasi dan solidaritas sosial organik di komunitas asal dan relokasi. Keempat, penguatan kelembagaan program-program pemberdayaan berbasis pada partisipasi dengan melibatkan community based organization (CBO) sebagai mitra di lapangan. Kelima, peningkatan kelembagaan sosial yang mendorong masyarakat memiliki daya kritis terhadap media dan mampu bermedia dengan memproduksi berbagai best practices dalam membangun komunitasnya pasca ganti untung.