Pos oleh :

PSPK UGM

Seminar Peluang dan Tantangan Integrasi CSR dengan Pembangunan Desa

Bekerja sama dengan IRE Yogyakarta, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada hari Selasa, 26 Mei 2015, mengadakan seminar tentang “Peluang dan Tantangan Integrasi Corporate Social Responsibility dengan Pembanguan Desa.” Seminar diselenggarakan mulai pukul 13.00. WIB hingga 15.00. WIB, di ruang sidang besar PSPK UGM, Bulaksumur G-7 Yogyakarta dengan menghadirkan 3 (tiga) orang narasumber, yaitu Dr. Bambang Hudayana, MA (kepala PSPK UGM), Sukasmanto, M.Si (peneliti IRE), dan Jamil Bahruddin, S.Sos, M.Sc, dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM.

Dalam seminar tersebut, Dr. Bambang Hudayana membahas tantangan dan strategi membangun kemitraan antara desa-perusahaan-daerah guna menyambut UU Desa. Sukasmanto, M.Sc membahas tentang perubahan kedudukan, kewenangan, perencanaan, dan keuangan desa sebagai peluang baru bagi desa-perusahaan-daerah untuk menjalin relasi yang lebih sinergis dengan porsi sharing sumber daya dan peran yang lebih proporsional. Sedangkan, Jamil Bahrudin membahas kerangka regulasi CSR yang enabling maupun constraining bagi inisiatif “CSR integrasi dengan UU Desa”, existing inisiatif-inisiatif good practices CSR, serta strategi untuk mengelola dinamika internal perusahaan untuk mendorong praktik CSR yang sinergis dan integrative dengan pelaksanaan UU Desa.

Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi peluang bagi kalangan perusahaan dalam melaksanakan program Corporate Social and Responsibility (CSR). Desa oleh UU ini memiliki kedudukan yang lebih kuat terkait kewenangan, perencanaan pembangunan, dan keuangan. Desa kini punya ruang mendefinisikan lingkup kewenangan asal-usul dan lokal berskala desa (Permendesa 1/2015). Kewenangan tersebut menjadi pijakan perencanan desa (RPJM Desa dan RKP Desa), yang mana juga wajib dihormati oleh pemerintah, provinsi, kabupaten dan pihak ketiga (perusahaan, lembaga donor internasional, dll.) ketika ingin melakukan pembangunan di desa. Agar kewenanangan dan perencanaan secara nyata bisa dilaksanakan, UU Desa telah menggariskan bahwa desa mendapatkan alokasi APBN berupa Dana Desa dan Alokasi Dana Desa.

Perubahan kebijakan Negara terhadap desa di atas tentu merupakan angin segar, tak terkecuali bagi perusahaan. Ketika APBD habis untuk belanja pegawai dan alokasi untuk pembangunan dan pelayanan publik sedikit, desa selama ini memiliki harapan besar terhadap peran swasta (Welker, 2007). Terlebih, bagi industri ekstraktif yang sejak fase konstruksi telah menimbulkan ekses negatif baik itu yang bersifat sosial maupun lingkungan.

Namun tentu, itikad dan iktiar perusahaan untuk mengatasi ekses negatif sekaligus berkontribusi positif  bagi masyarakat tidak mudah.

  1. Pertama, masyarakat dan pemerintah sejatinya tidak tunggal. Perusahaan kiranya tidak mudah menemukan mitra yang memang memiliki kemauan politik untuk sungguh-sungguh memberdayakan masyarakat dan membangun daerah, kendati aktor local champion (pembaharu) bukannya tidak ada. Tak jarang, aktor yang bersifat predatory (preman, elit lokal yang korup, dst.) justru lebih diperhatikan oleh perusahaan karena pertimbangan mitigasi resiko ketimbang aktor-aktor champions.
  2. Kedua, sejak lama perusahaan telah menempuh pendekatan karitatif dan secara tak sadar menumbuhkan mindset ketergantungan. Pemerintah daerah, pemerintah desa dan masyarakat sudah sedemikian terbiasa. Alhasil, ketika perusahaan ingin mengubah pendekatan dan strategi program CSR, ada hambatan berupa keengganan bahkan penolakan stakeholders karena dirasa sulit, rumit, dan butuh sharing kontribusi. Kita masih sering medengar seorang bupati yang bangga bisa memarahi perusahaan karena kecamatan lokasi industri masih miskin meskipun wilayah tersebut sejatinya berada di luar Ring I. Pemda dan pemdes tidak sadar menimpakan eksternalitas negative dari mis-alokasi suberdaya publik: mengalokasikan APBD dan APB Desa untuk kepentingan elit dan menimpakan tanggung jawab normatifnya kepada perusahaan.
  3. Ketiga, cara pandang di internal perusahaan juga sulit berubah. Misalnya, pendekatan yang integratif dengan perencanaan pembangunan daerah dan desa, yang lebih inklusif dan partisipatif beyond elit lokal, serta yang berorientasi outcome kualitatif dan  jangka panjang ketimbang pencapaian ukuran-ukuran kuantitatif jangka pendek juga masih sulit diterima oleh sebagian besar manajemen perusahaan. Padahal, lanskap sosial-politik telah berubah dari yang dulu bersifat sentralistis, top-down, menekankan pendekatan keamanan.
  4. Keempat, CSR adalah keseluruhan dari praktik industri. CSR bukan bermakna bahwa perusahaan bisa menjalankan operasi bisnis semaunya untuk kemudian membagikan sejumlah persen keuntungan kepada stakeholders (Hamman, 2003). Implikasinya, CSR adalah agenda perusahaan secara kelembagaan dan bukan sebatas program/kegiatan divisi humas/divisi comdev atau yang disebut lain. Komitmennya merentang dari top manajemen dan harus terjaga hingga sub-kontraktor. Kegagalan menginternalisasi agenda ini secara kelembagaan, niscaya akan membuat program CSR tidak mencapai tujuan yang diharapkan.

Penguatan Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Makanan Pokok Berbasis Produk Lokal

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015 mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. Kegiatan ini mengangkat tema “Penguatan Ketahanan Pangan Melalui Diversifikasi Makanan Pokok Berbasis Produk Lokal”. Pemilihan tema kegiatan pengabdian masyarakat ini didasari oleh keprihatinan rentannya ketahanan pangan akibat tingginya tingkat ketergantungan pada beras. Meskipun memiliki potensi produk pangan lokal yang dapat dijadikan makanan pokok pengganti beras, namun sebagian rakyat Indonesia enggan untuk memanfaatkan potensi tersebut akibat kebijakan penyeragaman makanan pokok pada masa lalu. Di era Orde Baru ada kebijakan penyeragaman makanan pokok rakyat Indonesia dengan beras, menggantikan komoditas lokal (singkong, sagu, ubi jalar, jagung, dll) yang telah lama menjadi makanan pokok masyarakat di daerah-daerah tertentu.

Kebijakan konversi makanan pokok tersebut menimbulkan kerentanan di bidang ketahanan pangan karena mereka menjadi sangat tergantung dengan daerah lain. Ketergantungan ini akibat keterbatasan komoditas beras yang dihasilkan oleh petani lokal. Apabila kondisi tersebut berlangsung terus maka ada potensi warga di daerah tersebut akan mengalami kekurangan pangan, apabila pasokan beras dari luar berkurang atau terhenti.

Guna menghilangkan kerentanan di bidang ketahanan pangan maka perlu ada upaya untuk mengembalikan tradisi yang telah lama di tinggalkan, yaitu menjadikan singkong menjadi makanan pokok kembali. Alasan utama menjadikan singkong sebagai makanan pokok warga desa Beji karena singkong merupakan komoditas yang banyak dihasilkan oleh petani lokal.  Namun upaya ini tidak mudah karena di tengah masyarakat sudah terlanjur ada anggapan bahwa mengkonsumsi singkong identik dengan kemiskinan.

Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah dengan memperkenalkan teknik baru pengolahan singkong. Dengan teknik tersebut singkong tidak hanya diolah menjadi makanan tradisional seperti tiwul, dan gatot, tetapi menjadi makanan yang “modern” yang memiliki prestise sosial dan nilai jual yang tinggi.

Singkong layak untuk dijadikan makanan pokok menggantikan beras, selain karena singkong merupakan komoditas lokal yang banyak dihasilkan oleh petani di Desa Beji, juga karena dilihat dari sisi nutrisi, kandungan nutrisi singkong cukup lengkap, yaitu kalori, air, karbohidrat, kalsium, vitamin, proten, besi, lemak, dan vitamin B1.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanaan oleh PSPK UGM ini diwujudkan dalam beberapa betuk kegiatan, antara lain pelatihan pengolahan makanan berbahan baku singkong, pembentukan kelompok usaha pengolahan singkong, penguatan kapasitas kelompok melalui kegiatan pelatihan manajemen kelompok, pelatihan produksi, dan pengemasan, penguatan modal san penguatan jaringan pasar.

Studi Kewirausahaan Perempuan dalam Produksi Makanan Lokal Berbasis Ubi Kayu (Singkong)

Ketahanan pangan menjadi program yang gencar dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini. Indonesia, sebagai penghasil sumberdaya alam dari pertanian dan perkebunan yang sangat banyak, terasa belum cukup menyediakan makanan bagi masyarakatnya sendiri. Padahal, Indonesia adalah Negara nomor tiga di dunia yang mempunyai keanekaragaman sumberdaya (megadiversity), karena itu adalah wajar kalau Indonesia mempunyai sumber kekayaan yang sangat besar untuk ketahanan pangan, air, energi dan lain-lain. Impor berbagai jenis pangan dari luar negeri seperti beras, gandum, buah-buahan bahkan sayur-sayuran menunjukkan kurang efisiennya pengelolaan sumberdaya alam dan biodiversitas dari Indonesia (Suhardi, 2010).

Tujuan dari program kedaulatan pangan yang diberikan oleh pemerintah sekiranya bisa mengurangi ketergantungan masyarakat akan makanan pokok, yakni beras. Pengolahan bahan makanan lain melalui diversifikasi pangan, seperti umbi-umbian dan jagung, menjadi alternatif masyarakat untuk memenuhi gizi dan nutrisi pengganti yang terdapat pada makanan pokok tersebut. Sejalan dengan program kedaulatan pangan yang dibuat oleh pemerintah, usaha kecil dirasa mampu menjadi agen-agen pelopor pembuat inovasi di berbagai bidang diversifikasi pangan.

Salah satu usaha riil dalam usaha mencapai kedaulatan pangan adalah mengolah berbagai bahan makanan yang dihasilkan dari pertanian lokal. Dalam konteks ini, Gunungkidul merupakan salah satu wilayah yang terkenal sebagai areal pertanian kering sehingga budidaya singkong sudah dibudidayakan oleh masyarakat di wilayah ini sejak lampau. Tidak hanya bertindak sebagai produsen, berangsur angsur sebagian warga Gunungkidul mengembangkan unit usaha produksi makanan lokal berbasis pada singkong. Menariknya, sebagian besar usaha ini justru dimotori oleh para perempuan sehingga sifat kewirausahaan pada kelompok ini mengalami perkembangan yang signifikan. Jika dahulu mereka ditempatkan sebagai para bakul, penjaja makanan, saat ini mereka mulai mengembangkan sikap wirausaha dengan mengolah berbagai produk dari bahan baku singkong.

Pemaparan mengenai perkembangan kewirausahaan dalam pengolahan makanan berbasis produk pertanian lokal terutama singkong dapat ditempatkan sebagai sebuah studi yang komprehensif tentang perubahan peran perempuan di pedesaan. Posisi mereka yang dianggap marjinal, kemudian mulai menempati peran sentral dalam menggerakkan ekonomi rumah tangga, ataupun ekonomi desa, dan dalam tataran yang lebih luas, menggerakkan ekonomi regional.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh tim PSPK UGM dapat diketahui bahwa terdapat beberapa pola penguasaan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang pembuatan makanan berbahan baku ubi kayu/singkong, yaitu warisan turun-temurun dari orang tua/generasi terdahulu, pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh dinas pemerintah maupun LSM, dan inovasi pribadi.

Terkait dengan permodalan pengusaha perempuan di bidang kuliner berbahan ubi kayu/singkong terdiri dari 3 bentuk, yaitu pertama, modal ekonomi baik yang berupa bahan baku maupun dana/uang, kedua, modal sosial yang bisa dimaknai sebagai interaksi sosial/perilaku sosial yang dilakukan oleh ibu-ibu yang menekuni usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong yang dapat menunjang berkembangnya usaha tersebut, misalnya tradisi pinjam singkong ke tetangga untuk mensiasati ketiadaan bahan baku (singkong) saat hendak melakukan kegiatan produksi, saling membantu dalam kegiatan produksi pada saat ada ibu yang mendapat pesanan dalam jumlah besar, saling meminjam alat produksi ketika alat produksi, saling membantu mengangkat produk dari tempat penjemuran ketika tiba-tiba turun hujan, menukar/barter produk yang belum laku dengan produk lain misalnya menukar produk dengan sayuran, bumbu dapur, dll, dan kebiasaan membagi order/pesanan yang diterima kepada pelaku usaha lain saat merasa tidak mampu untuk memenuhi pesanan tersebut. Ketiga, modal budaya, yang dapat dipahami sebagai nilai-nilai budaya/ tradisi turun temurun yang masih dianut oleh ibu-ibu produsen olahan makanan berbahan baku singkong, misalnya jaringan kekerabatan, dan tradisi rewang (kegiatan memasak yang dilakukan oleh banyak orang untuk acara hajatan dan biasanya dilakukan selama beberapa hari).

Terkait dengan peluang dan tren bisnis kuliner lokal berbahan baku ubi kayu, di masa yang akan datang usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong diperkirakan akan semakin meningkat. Hal itu karena adanya beberapa peluang usaha yang bisa dimaanfaatkan oleh para ibu-ibu produsen olahan makanan berbahan baku singkong, yaitu pertama, pangsa pasar masih terbuka (pasar modern, lokasi wisata dan pasar di kota-kota besar), kedua, adanya dukungan dari dinas/instansi terkait dan LSM (penyuluhan, pelatihan, penyelenggaraan pameran, dll), ketiga, kebijakan diversifikasi makanan pokok yang digalakkan oleh pemerintah, keempat, adanya koperasi, bank yang menyediakan fasilitas kredit apabila usaha tersebut memerlukan tambahan modal. Meskipun demikian, peluang usaha yang ada akan mubazir apabila para produsen pengolahan makanan berbahan baku singkong tidak mampu mengatasi kelemahan dan ancaman yang selama ini melekat pada usaha yang dijalankan, misalnya masalah kontinuitas bahan baku, masalah SDM (ketersediaan tenaga kerja, lemahnya inovasi produk), keterbatasan sumber daya alam (air, cuaca (mendung/ hujan), keterbatasan sarana dan prasarana produksi,. Lemahnya manajemen usaha, dan persaingan usaha baik produk sejenis dari luar daerah maupun produk makanan olahan lainnya.

Rekomendasi

Guna mengatasi kelemahan dan ancaman yang dihadapi usaha pengolahan makanan berbahan baku singkong, maka disampaikan beberapa rekomendasi, yaitu pertama, untuk mengatasi masalah kontinuitas bahan baku maka perlu dijalin kerja sama dengan kelompok tani produsen singkong baik di lokal maupun dari luar daerah. Kedua, untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja maka perlu dibentuk usaha yang berbasis kelompok sehingga tenaga anggota bisa diberdayakan dalam kegiatan usaha. Untuk mencegah terjadinya kecemburuan antar anggota maka perlu disusun aturan yang tegas tentang hak dan kewajiban anggota kelompok. Ketiga, guna mendorong munculnya semangat untuk melakukan inovasi produk maka perlu dilakukan pelatihan-pelatihan pengolahan makanan berbahan baku singkong. Keempat, untuk mengatasi keterbatasan air yang diperlukan dalam proses produksi maka perlu dibangun jaringan air bersih, pembuatan sumur atau bak penampungan air hujan. Gangguan cuaca (musim penghujan) diatasi dengan menerapkan sistem stok, memproduksi dalam jumlah yang lebih banyak pada musim kemarau untuk dipasarkan pada musim penghujan. Keterbasan sarana (alat produksi) dan prasarana produksi dapat diatasi dengan membentuk usaha kelompok, sehingga peralatan milik anggota kelompok dapat lebih diberdayakan, dan pengadaan alat baru yang lebih modern (mekanisasi alat produksi). Kelima, perlu dilakukan pelatihan manajemen pengelolaan usaha yang lebih baik guna mengatasi kelemahan manajemen usaha yang dijalankan oleh para pengusaha olahan makanan berbahan baku singkong. Guna memenangkan persaingan dengan produk sejenis dari luar daerah atau produk olahan makanan lainnya maka perlu peningkatan kualitas produk, misalnya penggunaan bahan baku yang berkualitas, pemakaian alat produksi yang lebih modern, pengemasan produk yang lebih baik dan lebih menarik.

Kegiatan Pelatihan Aparatur Desa dalam Bidang Manajemen Pemerintah Desa

Pada hari Rabu, tanggal 27 Mei 2015 di Ruang Sekip University Club UGM, PSPK UGM bekerja sama dengan IRE dan Pemerintah Kabupaten Sekadau menyelenggarakan kegiatan pelatihan aparatur desa dalam bidang manajemen pemerintah desa. Dalam kegiatan yang diikuti oleh aparatur desa tersebut hadir Dr. Bambang Hudayana, MA (kepala PSPK UGM) sebagai salah satu narasumber. Dalam pelatihan tersebut Dr. Bambang Hudayana menyampaikan materi pelatihan Sumberdaya Alam untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa Melalui Skema Pades dan BUMDes.

Dalam pemaparannya, Dr. Bambang Hudayana, MA menyampaikan bahwa desa adalah penyangga kehidupan di nusantara karena desa menyediakan segala kebutuhan hidup seperti pangan, energi, tanah, air, hutan, dan tumbuhan. Sayangnya pada masa Orde Baru desa dikorbankan, sumber daya alam yang ada di desa justru digunakan sebesar-benarnya untuk kepentingan pusat seperti tambang, hutan dll. UU Desa sepertinya memberikan kesempatan yang lebih baik pada Pemerintahan Desa untuk mengelola sumber daya alam. Kepentingan ini harus diperjuangkan dan diraih oleh Pemerintah Desa dibantu dengan pemerintah daerah agar dapat menjadi sumber pendapatan desa. Metode dalam mengelola potensi sumber daya terutama sumber daya alam yang tidak dapat diperbaruhi pun harus diperhatikan agar dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan karena kesejahteraan hidup manusia bertumpu pada sumber daya alam.

Ketika dikelompokkan sumber daya alam dapat dibedakan menurut jenisnya, yaitu pertama, sumber daya alam hayati. Pemerintah desa dapat menuntut hak bagi hasil, termasuk untuk sumber daya alam hayati seperti tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh industri. Pendapatan jangan hanya dari minyak bumi atau industri ekstraktif tetapi masih banyak potensi lain yang dapat dikembangkan. Pengembangan lain dapat memanfaatkan alam untuk tourism (sustainable ecological tourism). Kedua, sumber daya alam non hayati. Eksplorasi sumber daya alam atau industri ekstraktif. Pemanfaatan sumber daya alam non hayati harus memperhatikan aspek lingkungan agar jangan menjadi bencana.

Dalam materi yang dipaparkan Dr. Bambang juga mengajak peserta pelatihan untuk mengidentifikasi sumber daya alam yang ada di desa dan permasalahannya. Beberapa jenis sumber daya alam yang ada di desa, pertama Flora yang penggunaaannya untuk perindang, obat-obatan, sayuran, tanaman hias. Selama ini kebanyakan digunakan untuk kebutuhan subsisten, usaha ekonomi kerakyatan. Sayangnya jarang digunakan oleh desa untuk sumber pendapatan yang kemudian dapat diredistribusikan kepada seluruh masyarakat. Kedua, Fauna yaitu Binatang, madu. Contoh, Kabupaten Sumbawa Barat, masyarakat memelihara hutan dan dari hutan masyarakat bisa memperoleh madu yang memliki nilai ekonomi tinggi. Pemerintah desa dapat menggunakan peraturan desa yang melarang pengambilan satwa hutan yang berlebih untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Ketiga, Hutan. Menjaga ekosistem hutan sangat dibutuhkan untuk mendukung keberlangsungan hidup. Desa tanpa hutan maka akan kehilangan arti karena kehilangan pelindung dan potensi. Tren saat ini hutan dikembangkan untuk wisata alam yang mampu menjadi sumber pemasukan bagi desa. Modal yang dibutuhkan adalah memelihara hutan itu sendiri. Kita memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi belum banyak dimanfaatkan terlebih dengan cara yang benar.

Sumber daya alam non hayati. Antara lain, pertama, Tambang. Sejak lama masyarakat sudah mulai melakukan penambangan, tetapi saat ini pertambangan rakyat dianggap tidak ramah lingkungan, apdahal hal tersebut muncul karena mereka tidak mampu mengakses modal maupun lokasi prioritas sehingga hanya mencari lahan-lahan marginal yang hanya ada sedikit mineral berharga dengan metode yang seadanya. Kedua, Air. Mulai menjadi sebuah trend usaha desa pengemasan air minum maupun isi ulang dimana desa dapat menyediakan air untuk warganya. Ketiga, Tanah Untuk meningkatkan pendapatan daerah dan desa dapat dilakukan dengan pembayaran retribusi ketika panen. Desa mencari penghasilan dengan mengelola lingkungan hidup untuk pemasukan desa yang dapat dimanfaatkan oleh pembangunan desa. Tanah kas desa, tanah sitisoro (tanah disewakan kepada warga yang tidak memliliki tanah) saat ini kurang dapat dimanfaatkan dengan baik padahal tanah dapat menjadi potensi yang sangat baik untuk dikelola. Luas tanah pun dapat ditingkatkan dengan ide-ide kreatif, misal menjual tanah yang berada di lokasi strategis dan membeli di lokasi lain yang lebih murah sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih luas. Selanjutnya tanah tersebut diberikan hak penggunaannya kepada masyarakat misal untuk kandang ternak, perkebunan, maupun penanaman tanaman bernilai ekonomi tinggi. Keempat, Arus sungai. Dapat digunakan untuk teknologi micro hydro untuk mencukupi kebutuhan listrik masyarakat, trend ini mulai banyak digunakan di desa-desa di Papua.

Dalam pemaparannya, Dr. Bambang juga menyampaikan Peta jalan Pengembangan Sumber Daya Alam oleh Desa. Yang perlu dilakukan menurut beliau adalah, pertama, Pemetaan batas wilayah desa. Kedua, Pemetaan potensi SDA desa. Sudah dimanfaatkan seperti apa, bagaimana kondisinya. Dilakukan dengan pendekatan parsipatoris dengan warga dimana warga mendefinisikan keadaan dan kebutuhannya. Ketiga, Penyusunan arah kebijakan pengelolaan potensi pengembangan SDA desa. Arah kebijakan perlu disusun dalam jangka pendek, menengah, panjang pengembangan sumber daya alam desa. Keempat, Penyusunan kebijakan tata ruang desa. Untuk menyusun RPJMDesa, tata ruang harus disusun secara jelas dan jangan sampai dialihfungsikan secara sembarangan. Selain itu juga mengatur kawasan konservasi. Kelima, Penyusunan program-program pengelolaan lingkungan hidup dan ekonomi desa. Berbagai hal dapat dilakukan untuk mengelola lingkungan yang berpotensi mendatangkan potensi ekonomi bagi desa, seperti: (a) Pengelolaan hutan berbasis masyarakat; (b) Eksplorasi sumber daya pertambangan berbasis kearifkan lokal; (c) Pengembangan ekowisata; (d) >Revitalisasi area rawan bencana. Keenam, Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (pembinaan masyarakat di sekitar hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan dan konservasi sumber daya hutan, pemanfaatan), (b) Eksplorasi sumber daya pertambangan berbasis kearifan lokal.(Identifikasi produk, Kerjasama kemitraan antar desa, Mengembangkan pola bagi hasil yang adil, Mendorong dan mengembangkan partisipasi masyarakat, Pengembangan sumber daya listrik mikro, Pengembangan BUMDesa); (c) Pengembangan ekowisata (Pengembangan sarana dan prasarana dan destinasi objek pariwisata, Promosi kawasan wisata), (d) Revitalisasi area rawan bencana; (e) Pembangunan kembali sarana dan prasarana; (f) Sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat; (g) Pendanaan dan pembangunan daerah rawan; (g) Peningkatan partisipasi masyarakat; (h) Pembangunan pusat-pusat reboisasi dan pengembalian ekosistem

Untuk membangun desa jangan terkecoh dengan urusan dana desa tetapi lupa bahwa sebenarnya desa memiliki kekayaaan alam yang luar biasa yang dapat menjadi sumber kehidupan bagi masyarakatnya. Pembangunan desa dapat dikembangkan dengan konsep green village. Mari membangun desa dengan menjaga kelestarian hidupnya. Anggaran Dana Desa (ADD) jangan dihabiskan untuk proyek-proyek fisik tetapi bagaimana untuk menggerakkan masyarakat dan memanfaatkan sumber daya alam agar dapat menjadi produk berkelanjutan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu mari kita kembangkan BUM Desa.

Penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama antara UGM dengan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Pada hari Jumat tanggal 6 Maret 2015 telah ditandatangani nota kesepahaman bersama antara Universitas Gadjah Mada dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi di balai senat UGM. Universitas Gadjah Mada diwakili oleh rektor Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D, sedangkan kementrian Desa, PDT, dan Transmigrasi diwakili oleh Marwan Ja’far, menteri Desa, PDT dan Transmigrasi. Nota kesepahaman tersebut merupakan payung hukum antara kedua belah pihak untuk melakukan kerjasama di bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, untuk jangka waktu 5 tahun ke depan.

Dalam sambutannya, Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., mengatakan pihaknya mendukung program pemerintah yang akan memprioritaskan pembangunan yang dimulai dari desa. UGM,sesuai dengan kerja sama yang sudah dijalin tersebut, siap mengerahkan 7.500 mahasiswa setiap tahunnya melalui program Kuliah Kerja Nyata. Mahasiswa KKN PPM UGM ini akan diterjunkan di desa-desa tertinggal di seluruh Indonesia. “Kita terjunkan secara reguler dan bergelombang agar bisa bisa mendukung program kementerian desa dalam pengentasan desa tertinggal,” katanya. Menurut Dwikorita, pengentasan kemiskinan desa yang dilakukan UGM dilakukan dengan berbasis riset, kajian dan solusi strategis dengan merintis desa tangguh dalam bidang kebencanaan, sosial ekonomi dan kemandirian energi dan semangat anti korupsi.

Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar mengatakan pemerintah akan mengakhiri program kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pada akhir April 2015. Sebagai gantinya pemerintah akan melaksnakan program pendampingan desa dengan merekrut tenaga pendamping desa untuk mengawal pembangunan desa seiring pengucuran dana desa dari pemerintah pusat. Tenaga pendamping ini, kata Marwan, akan melakukan penguatan kapasitas aparatur desa dan pendampingan administrasi keuangan. “Idealnya satu desa satu pendamping, tenaga pendamping akan direkrut setelah bulan april ini,” kata Marwan Ja’far.

Marwan menyebutkan puluhan ribu tenaga pendamping desa ini akan ditempatkan pada 43 ribu desa tetinggal, dimana 17.500 desa diantaranya masuk dalam kategori desa sangat tertinggal. Sebelum menerjunkan tenaga pendamping, kata Marwan, kementeriannya akan mengindentifikasi kebutuhan desa, jumlah ketersediaan pangan dan kebutuhan air bersih serta sarana dan prasarana infrastruktur. “Kita menyiapkan dananya sekitar Rp 29 Triliun untuk desa sangat tertinggal ini, namun masuk dalam perencanaan 2016 nanti,” ujarnya.

Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Dr. Bambang Hudayana, mengatakan pihaknya mengaku siap dilibatkan dalam penguatan kapasitas tenaga pendamping desa melalui program sekolah desa. Menurutnya, kegiatan tersebut diharapkan agar memperkuat kapasitas tenaga pendamping desa saat bekerja di lapangan. “Jangan sampai pembangunan desa hanya menjadi wacana publik. Perguruan tinggi dan masyarakat sipil saya kira perlu mengawal pembangunan desa tersebut agar bisa terealisasi dengan baik,” ungkapnya.

Hilangkan Batasan Akses Ekonomi yang Merugikan Perempuan Desa

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM bersama-sama dengan HAPSARI dan Institute for Research and Empowerment (IRE) menyerukan kepada pemerintah dan semua pihak untuk menghilangkan batasan-batasan akses ekonomi yang merugikan perempuan, khususnya perempuan di pedesaan dan daerah marjinal. “Perempuan, harus bisa ikut mengakses semua sumber daya di sekelilingnya tanpa batasan, termasuk akses ke sumber penghasilan dan sumber daya alam di lingkungannya. Dan yang terpenting, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan baik oleh pemerintah maupun swasta, termasuk bank dan sumber pembiayaan lain, harus mengakomodir kebutuhan ekonomi perempuan,” tutur Lely Zailani, Ketua Dewan Pengurus Nasional HAPSARI dalam Sarasehan Nasional yang dihadiri oleh menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Yohana S. Yembise. Menurut Lely, saat ini kebijakan ekonomi yang ada belum berpihak dan cenderung merugikan perempuan. Padahal, menurutnya perempuanlah penggerak utama perubahan di keluarga dan masyarakat. “Perempuan yang tidak mandiri secara ekonomi cenderung rentan terhadap kekerasan baik fisik maupun psikologis meski sebenarnya peran mereka di lingkungan dan keluarga besar,” tambah Lely.

Dengan dukungan Program Representasi (ProRep), HAPSARI melakukan penelitian tentang tantangan ekonomi yang dihadapi perempuan akar rumput. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ada enam tantangan inti yang dihadapi perempuan, antara lain: kesulitan akses permodalan; akses perizinan untuk usaha sertifikasi produk dan koperasi; infrastruktur; produksi; pengemasan; dan pemasaran.

Berkat pergulatan panjangnya, HAPSARI menuai buah keberhasilan. Salah satu contohnya adalah Koperasi HAPSARI di Kulon Progo Yogyakarta. Koperasi ini mampu mengolah produk kopi dan teh dari anggotanya menjadi produk lokal yang menghasilkan tambahan ekonomi bagi para anggotanya. Melalui koperasi, para petani kopi dan teh kini menikmati harga jual panenan yang lebih baik dbandingkan dengan harga jual ke para pengepul (tengkulak). Sukses itu tidak terlepas dari intervensi program Pemerintah Daerah Kulon Progo melalui Dinas Koperasi yang memberi kemudahan mulai dari proses pendirian koperasi, perizinan (badan hukum), perizinan produk, promosi produk, hingga akses permodalan. Kesuksesan Koperasi HAPSARI Kulon Progo itu menginspirasi tumbuhnya koperasi-koperasi di berbagai desa lain yang menjadi anggota HAPSARI, seperti di Deli Serdang, Serdang Bedagai, Labuhanbatu, dan Pekalongan. Koperasi-koperasi ini mulai menangani pengolahan ikan asin di Kabupaten Serdang Bedagai dan keripik koin dari singkong di Deli Serdang. Koperasi-koperasi itu berhasil memperkuat potensi dan sumber pendapatan bagi ekonomi rumah tangga mereka.

Keterbukaan akses bisa menjadi langkah kunci dalam mengafirmasi gerakan perempuan dalam membangun wilayahnya. Contoh yang menarik, penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (LPPM UGM) pada tahun 2010-2011 tentang pengolaan koperasi di masyarakat membuktikan bahwa koperasi yang dikelola para perempuan lebih maju dibandingkan dengan kelompok laki-laki. “Tingkat pengembalian pinjaman kelompok perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki,” ungkap Soeprapto dari Pusat Studi Wanita UGM. “Itulah salah satu bukti bahwa perempuan, termasuk perempuan di pedesaan, bukan obyek pembangunan melainkan subyek pembangunan yang aktif dan produktif,” tambahnya.

Beban ganda yang diusung perempuan karena berbagai hambatan struktural harus segera dibongkar demi memberikan nafas keadilan dalam gerak pemberdayaan kelompok ekonomi produktif perempuan di pedesaan dan daerah marjinal,” tutur AB Widyanta dari Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM. “Tiga matra pemberdayaan kelompok perempuan yang mesti diperjuangkan adalah: pertama, penguatan substantif partisipasi sipil dan politik kaum perempuan; kedua, membuka kesempatan dan akses yang sama dalam aktivitas pembangunan; dan ketiga, menjamin implementasi berbagai kebijakan alternatif bagi gerakan pemberdayaan kelompok perempuan berikut jejaringnya,” tambah Widyanta.

Seminar Nasional Pembaharuan Desa dan Reformasi Agraria

Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dimungkinkan menitikberatkan pembangunan di tingkat desa, seiring lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

“Desa masih merupakan kantong kemiskinan dan rawan mengalami ketidakadilan sosial. Terus mengalami keterisolasian. Secara politik tertinggal dari orang kota, bahkan sering jadi obyek politik,” kata Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Bambang Hudayana, dalam diskusi Pembaruan Desa dan Reformasi Agraria di ruang seminar PSPK UGM, Selasa (26/8/2014).

Hadir sebagai pembicara lain, Sosiolog UGM Arie Sudjito dan Anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko.

Menurut Bambang, prioritas pembangunan pemerintah mendatang diharapkan fokus pada tingkat desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru dan pemerataan pembangunan. Pasalnya, sepanjang 68 tahun merdeka, 72 ribu desa yang kini sebagai tempat tinggal bagi 50,02 persen penduduk terus mengalami marginalisasi, keterisolasian, keterbatasan akses sumberdaya, akses pembangunan, serta keterbatasan akses politik.

“Undang-Undang Desa potensial untuk payung penguatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat desa, tetapi masih miskin roadmap dan rencana agenda aksi,” tuturnya.

Bambang mengusulkan, desa tidak lagi sebagai area proyek pembangunan, namun lebih dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat. Pengalaman selama ini, umumnya proyek yang dilaksanakan di desa sangat tidak populis dan tidak memperkuat perekonomian desa.

“Akibatnya, dalam jangka panjang, pembangunan lebih dirasakan oleh masyarakat kota, golongan elite, dan kelas menengah,” katanya.

Tidak hanya itu, imbuhnya, reformasi agraria yang diemban oleh pemerintahan saat ini masih sebatas jargon dan tidak menjawab masalah struktural dan sistematis masyarakat desa.

Kelas Menengah Baru

Sementara itu, menurut Budiman Sudjatmiko, UU Desa memungkinkan masyarakat bisa terlibat secara langsung dalam proses perencanaan pembangunan serta ikut serta dalam pemberdayaan masyarakat. Meski UU ini sudah diterbitkan, namun pemerintah hanya menggelontorkan dana sekitar Rp9 triliun dari Rp64 triliun dana APBN untuk dialokasikan ke desa.

“Artinya, hanya Rp450 juta yang disediakan untuk desa, pasca-pergantian pemerintah. Kita harapkan dari tahun ke tahun dananya akan meningkat,” ungkapnya.

Ia menambahkan, UU Desa membawa misi pemberantasan kemiskinan di desa, mencegah urbanisasi, membangun sentra ekonomi baru di desa, serta lahirnya kelas menegah baru di desa.

“Belajar dari Brasil, sekitar 40 persen dana pembangunan dibahas oleh komunitas, sehingga memunculkan 10 persen kelas menengah baru dari kampung-kampung kumuh,” katanya.

Sosiolog Arie Sudjito menambahkan, UU Desa bukan semata-mata urusan pembagian dana dari pusat ke tingkat desa, tapi memungkinkan masyarakat desa ikut serta dalam proses pembangunan. Tantangan yang tidak mudah bagi pemerintah mendatang, sambung Arie, adalah lambannya kerja birokrasi untuk mendukung percepatan pembaruan desa dan reformasi agraria, sehingga masyarakat sipil terus mengawal reformasi birokrasi agar bisa selaras pembaruan desa.

“Kita harus mengawal. Jika tidak, akan muncul pencoleng-pencoleng baru,” pungkasnya.

Seminar Publik Peran Perempuan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal

PSPK UGM bekerjasama dengan HAPSARI menyelenggarakan seminar publik peran perempuan dalam pengembangan ekonomi lokal. Seminar dilaksanakan tanggal 17 November 2014 di Aula PSPK UGM, dihadiri oleh 60 orang partisipan. Dipandu oleh AB.Widhyanto dari PSPK sebagai moderator, dihadiri oleh dua orang peneliti ahli dari PSPK dan PSW yang menjadi menjadi narasumber pembanding, yaitu Mulyono, MA (PSPK) dan Drs. Soeprapto yang juga merupakan Ketua PSW, Dina Mariana,SH selaku peneliti ahli dari LSM IRE, serta Dra.Hermintarti selaku Kepala Dinas Koperasi kabupaten Kulon Progo.

Dalam seminar ini, selain berbagai masukan (kritik dan saran terhadap hasil penelitian), juga mencatat adanya pernyataan komitmen dukungan dari lembaga penelitian, LSM dan Dinas Koperasi untuk bermitra dan mendukung HAPSARI dalam pengembangan program dan advokasi untuk penguatan ekonomi perempuan di masa datang.

Agenda Presiden Baru tentang Pembaharuan Desa dan Reforma Agraria

“Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di desa, namun selama ini pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah RI masih belum berpihak pada masyarakat desa. Hal itu nampak dari realita yang hingga saat ini masih berlangsung di desa, yaitu desa merupakan kantong kemiskinan dan rawan mengalami ketidakadilan, desa hanya menjadi objek pembangunan dan belum menjadi subjek pembangunan, orang desa hidup dalam krisis kedaulatan pangan, ekologi, keterbatasan dan pencabutan hak atas sumber daya agraria” kata Dr. Bambang Hudayana, kepala PSPK UGM dalam seminar nasional yang dilaksanakan di ruang sidang besar PSPK UGM hari Selasa, 26 Agustus 2014. Seminar yang menghadirkan tiga orang pembicara tersebut, yaitu Budiman Sujatmiko, anggota DPR RI, Dr. Arie Sujito dosen Fisipol UGM dan Dr. Bambang Hudayana mengangkat tema ”Agenda Presiden Baru tentang Pembaharuan Desa dan Reforma Agraria.”

Untuk memecahkan permasalahan tersebut, Dr. Bambang Hudayana memandang presiden baru yang akan memimpin negeri ini perlu membuat beberapa agenda, antara lain melaksanakan kebijakan reformasi agraria guna memastikan ketersediaan lahan yang mencukupi bagi para petani untuk melaksanakan usaha tani yang produktif. Selain itu, pemerintahan yang baru juga perlu mengupayakan agar para petani mampu meningkatkan kemandirian mereka dalam mendiakan saprotan sehingga mereka tidak dipermainkan oleh para pedagang saprotan.

Sementara itu, Budiman Sujatmiko memaparkan bahwa pada mulanya ia merasa enggan untuk masuk ke parlemen, namun setelah didorong oleh banyak pihak ia akhirnya mau mencalonkan diri. Kemauan itu didasari oleh keinginan untuk bisa merealisasikan agenda politik yang selama ini menemukan jalan buntu akibat tidak adanya kekuatan yang dimiliki. Ia membawa agenda politik untuk mengegolkan RUU desa yang selama ini tidak menjadi prioritas sebagian besar anggota parlemen karena akan mengusik kemapanan mereka. Perjuangan di parlemen akhirnya bisa membuahkan hasil, pada tahun 2014 RUU desa disahkan oleh parlemen sebagai UU Desa.

UU Desa merupakan undang-undang yang sangat fenomenal karena akan mengubah kehidupan sebagian besar warga negara Indonesia. UU desa bukan hanya bertujuan untuk memberikan dana yang cukup kepada desa melalui mekanisme penyediaan pos anggaran bantuan ke desa di APBN, namun yang paling utama adalah memperkuat posisi warga desa agar mampu terlibat dalam pengelolaan aset/sumber daya desa. Selama ini mereka hanya menjadi obyek pembangunan sehingga tidak berhak untuk ikut terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan, melalui undang-undang tersebut, warga desa diposisikan sebagai subyek yang berhak untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan di desa.

Perubahan itu dimungkinkan karena berbeda dengan paradigma pembangunan yang selama ini dilaksanakan oleh rejim penguasa Indonesia yang bersifat elitis, UU Desa mengembangkan pendekatan partisipatif yang memberikan ruang bagi semua warga masyarakat desa untuk terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan. UU desa memiliki kerangka 3 yaitu otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan demokrasi.

UU Desa mengadopsi semangat mengembangkan otonomi daerah. Namun otonomi daerah yang diperjuangkan oleh UU Desa bukan seperti otonomi daerah yang dimiliki oleh kabupaten/kota yang tidak memiliki akar sejarah sama sekali. Otonomi daerah yang dikembangkan oleh UU Desa adalah otonomi daerah yang bersifat rekognisi, yaitu yang sudah dimiliki oleh desa-desa sejak masa lalu. Dalam undang-undang itu negara mengakui hak asal-usul desa, hak untuk mengatur kehidupannya sendiri, khususnya dalam mengelola aset milik desa, termasuk aset tanah.

Pemberdayaan masyarakat, UU desa mengembangkan semangat untuk memberdayakan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Warga masyarakat desa tidak hanya menjadi objek pembangunan tetapi menjadi subyek yang memiliki hak untuk menentukan program apa yang perlu dilaksanakan di desa.

Penguatan demokrasi juga menyemangati UU Desa. Apabila di desa telah berkembang demokrasi maka warga desa tidak akan mudah diperdaya oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Selama ini banyak caleg yang menjadikan desa sebagai lumbung suara dalam pemilihan hanya dengan melakukan politik uang, sehingga ketika caleg itu jadi maka ia sama sekali tidak mau memperjuangkan kepentingan warga desa. Suatu saat nanti bila demokrasi telah mengakar kuat di desa maka warga desa akan bisa memilih wakil-wakil rakyat yang bersedia untuk memperjuangkan kepentingan desa.

Arie Sujito pada sesi ketiga menyatakan bahwa UU Desa merupakan pintu masuk yang bisa dimasuki oleh siapapun, bukan hanya oleh para pejuang desa yang ingin memperjuangkan kepentingan rakyat desa tapi juga oleh orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pelaksanaan undang-undang tersebut. Oleh karena itu, perlu pengawasan yang ketat dari semua pihak agar pelaksanaan undang-undang tersebut benar-benar dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat desa.

Perlu diketahui bahwa tujuan utama undang-undang desa bukan bagi-bagi uang bagi desa. namun pemberdayaan warga desa agar mereka mampu mengembangkan diri sehingga dapat terlibat dalam pengelolaan aset desa. Tugas para pejuang desa bukan hanya mengajari warga desa membuat kuitansi LPJ dana yang diterima, tetapi membumikan semangat pembaharuan desa dan reforma agraria. Tantangan utama yang menghadang tujuan itu adalah bagiamana bisa merubah sikap birokrat agar selaras denmgan semangat tersebut. Selama ini sebagian besar birokrat belum memiliki kesiapan untuk melaksanakan pembaruan desa dan reforma agraria.*

Tantangan dan Kiprah Caleg Perempuan dalam Pemilu 2014

“Harus diakui bahwa selama ini peran kaum perempuan dalam bidang politik masih kalah dibanding kaum pria. Hal ini mendorong PSPK UGM dalam seminar bulanan ini menghadirkan para politisi perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilu legislatif tahun ini. Diharapkan dalam seminar ini terjadi sharing pengalaman dan juga pemikiran yang dapat semakin memperkuat posisi kaum perempuan di dunia politik. Kita berharap di masa depan kaum perempuan semakin mendapatkan posisi yang setara dengan kaum laki-laki.” Demikian harapan Dr. Bambang Hudayana dalam sambutan pembukaan seminar bulanan yang dilaksanakan oleh PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 13 Maret 2014. Seminar yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan tersebut mengangkat tema “Tantangan dan Kiprah Caleg Perempuan dalam Pemilu 2014”, menghadirkan 3 orang narasumber caleg perempuan dari tiga parpol, yaitu Ibu Esti Wijayanti (PDI-P), Ibu Yuliana (Partai Gerindra). dan Ibu Maya Sila (Partai Golkar).

Dalam pemaparannya, ketiga caleg menyampaikan latar belakang mereka terjun di dunia politik. Ibu Maya yang merupakan caleg di tingkat kabupaten menyampaikan bahwa ia terdorong untuk terjun di dunia politik karena merasa prihatin dengan sistem birokrasi di daerahnya yang korup. Kenyataan ini ia temukan sendiri saat ditunjuk sebagai ketua sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Badan tersebut dibiayai oleh APBD dan ia menemukan bahwa penggunaan anggaran di badan tersebut sangat tidak transparan, banyak dana yang penggunaannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketika ia melaporkan masalah tersebut kepada bupati, ternyata tidak direspon sama sekali bahkan ia mendapat perintah untuk diam apabila masih ingin berada di dalam sistem. Ia sangat prihatin dengan kondisi ini dan berharap dapat melakukan pembenahan saat menjadi anggota legislatif nanti.

Ibu Yuliana yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tingkat provinsi menyampaikan bahwa ia terjun di dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif karena menemukan realitas kehidupan rakyat Indonesia yang belum sesuai dengan harapan. Biaya pendidikan mahal, tingkat korupsi tinggi, harga kebutuhan hidup sehari-hari mahal, dll. Dengan terjun di  dunia politik ia berharap Indonesia akan mengalami perubahan menuju lebih baik. Ibu Esti yang mencalonkaan diri sebagai anggota DPR RI menyampaikan bahwa panggilan jiwanya untuk terjun di dunia politik sudah muncul sejak masih belia. Ketika belum memiliki hak pilih, ia sudah aktif di dunia politik, meski masih sebatas ikut kampanye. Pengetahuan di bidang politik diperoleh dari orang tuanya yang seorang guru mata pelajaran PMP. Sebelum mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di tingkat pusat, ibu Esti adalah anggota legislatif di tingkat provinsi selama 2 periode, dan pernah pula menjadi anggota legislatif di tingkat kabupaten. Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rakyat mendorong dirinya untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Dulu saat belum menjadi anggota legislatif ia mencoba membantu memecahkan masalah dengan kekuatan sendiri, dengan dana pribadi yang dimiliki. Karena keterbatasan sumber daya, hasilnya tidak maksimal. Ketika ia masuk di lembaga legislatif ia dapat membantu memecahkan masalah tersebut dengan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, dan hasilnya jauh lebih signifikan.

Terkait dengan tantangan caleg perempuan dalam pemilu 2014, para narasumber sepakat bahwa tantangannya semakin berat. Pada saat ini banyak anggota masyarakat Indonesia yang apatis dengan pemilu yang akan dilaksanakan. Mereka memiliki pandangan bahwa proses  pemilu sama sekali tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Yang diuntungkan hanya para caleg yang terpilih menjadi anggota legislatif yang dapat hidup makmur dan mewah berkat gaji dan  fasilita yang diterima dari negara, serta berkat tindak Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang dilakukannya. Karena merasa sama sekali tidak mendapat manfaat dari pesta demokrasi yang diselenggarakan maka mereka cenderung untuk golput/tidak menggunakan  hak pilih mereka. Sementara itu, ada pula warga masyarakat yang mencoba mencari keuntungan materi dari proses pemilu yang dilaksanakan. Mereka mau menggunakan hak pilih mereka asalkan  mendapat imbalan sejumlah uang. Yang lebih parah, ada pula warga masyarakat yang bersedia menerima uang dari beberapa caleg/partai meski ia hanya memiliki satu hak pilih. Prinsipnya, “terima dulu uangnya, perkara pilihan belakangan”.

Menanggapi realitas tersebut, para pembicara menyampaikan pendapatnya. Ibu Maya berharap bahwa ia akan mampu memberi penyadaran kepada warga masyarakat untuk menggunakan hak pilih dengan baik dan menentukan pilihan berdasarkan hati nurani, bukan berdasarkan uang yang diterima. Ibu Yuliana menyatakan bahwa politik uang tidak mendidik dan ia tidak akan melakukannya. Hal itu karena selain bertentangan dengan undang-undang, politik uang juga membutuhkan dana relatif besar dan ia tidak memiliki dana tersebut. Ibu Esti mensinyalir bahwa munculnya apatisme di kalangan masyarakat bukan murni atas kesadaran sendiri namun karena ada manuver politik dari kalangan tertentu, dengan harapan dapat mengurangi suara yang akan diperoleh oleh partai lain. Terkait dengan politik uang, ia sangat menyayangkan terjadinya hal tersebut. Ia tidak hanya menyalahkan pihak pemberi tetapi juga pihak penerim yang kadang kala menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Bersedia menerima pemberian bantuan dari pihak manapun. Menurut ibu Esti, kondisi ini masih bisa dimaklumi bila terjadi di daerah-daerah miskin, namun realitanya banyak warga dari kalangan menengah yang juga melakukan hal tersebut.

Salah satu hal yang ikut menentukan keberhasilan sebuah partai atau seorang caleg mendapatkan dukungan suara dari rakyat, menurut Dr. Bambang Hudayana, adalah kaderisari. Terkait dengan hal tersebut, Ibu Maya menyatakan bahwa ia telah memiliki jaringan yang dapat mendukung langkahnya menuju gedung dewan, yaitu dukungan dari sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang kebetulan keanggotaannya hingga akar rumput. Selain itu, ia juga mengandalkan partai politiknya yang juga memiliki massa hingga akar rumput. Ibu Yuliana menanggapi bahwa ia yakin mampu merebut dukungan rakyat karena program kerja partai yang sangat pro rakyat. Selain itu, juga kepribadian yang dimilikinya, yaitu supel dan jujur. Sebagai gambaran, banyak teman di kantor yang merasa kehilangan saat ia tidak masuk kantor. Ibu Esti menanggapi isu kaderisasi, bahwa partainya sangat menekankan proses kaderisasi. Bahkan, ia merupakan kader lulusan pertama dari sekolah diklat yang dilaksakan oleh PDIP. Selain itu, komunikasi politik selalu ia bangu dengan konstituennya. Bahkan akhir-akhir ini, komunikasi itu semakin intensif. Hampir setiap hari ia sampai di rumah jam 22 malam karena kesibukan komunikasi politik yang ia lakukan dengan konstituennya.

Sebagai calon wakil rakyat yang memiliki konstituen di DIY, tentu para narasumber tidak dapat terlepas dari persoalan-persoalan yang terjadi di DIY. Persoalan kritis terkait dengan keistimewaan DIY adalah masalah agrarian. Ada isu bahwa semua tanah milik kraton dan pakualaman akan ditarik dan tidak boleh dimanfaatkan lagi oleh warga yang selama ini memanfaatkannya. Terkait dengan hal itu, Ibu Maya menyatakan bahwa ia merupakan salah satu pihak yang sebenarnya tidak setuju dengan keistimewaan DIY karena ia yakin hal itu akan menimbulkan banyak masalah, seperti yang muncul saat ini. Ia berpendapat bahwa tanah idealnya dikuasai oleh negara dan rakyat sebatas menggunakannya, seperti sistem yang berlaku di negara-negara barat dan juga Singapura. Jadi tidak boleh ada warga negara yang memiliki tanah, semua hanya hak guna. Ibu Yuliana menanggapi bahwa pihak kraton tidak akan keberatan tanah milik kraton dimanfaatkan oleh rakyat. Sejarah telah menunjukkan bahwa selama ini kraton telah rela berkorban apapun untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya tanah. Jadi bila ada persoalan terkait dengan tanah, silahkan kontak saya, nanti saya bantu karena saya mempunyai banyak kenalan dari kalangan kraton. Ibu Esti menyatakan bahwa sebelumnya memang ada wacana penarikan kembali tanah kraton yang dituangkan dalam rancangan perda terkait keistimewaan DIY.  Namun setelah muncul aspirasi dari warga masyarakat yang menentang rancangan tersebut, maka DPRD mengubah rancangan tersebut. Warga masyarakat yang selama ini memanfaatkan tanah kraton tetap boleh memanfaatkannya dengan syarat meminta ijin kraton. Anak cucu  dari sebuah kelaurga yang tinggal di tanah magersari boleh terus memanfaatkan tanah tersebut dengan syarat memperbaharui perjanjian dengan pihak kraaton.

Terkait dengan isu caleg yang harus asli daerah yang diwakili, ibu Maya kurang setuju dengan hal tersebut. Kita hidup di negeri Indonesia yang memiliki latar belakang suku, agama, ras yang berbeda-beda, dan kita berharap kita bisa membangun Indonesia yang mampu mengayomi semua warga negaranya, tak membeda-bedakan latar belakangnya. Semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam bidang politik. Oleh karena itu, wajar bila semua orang boleh dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di daerah manapun. Satu syarat yang diperlukan, yaitu ia mampu menyampaikan aspirasi dari konstituennya. Jadi dalam pemilu, saya kira tidak relevan lagi isu asli atau tidak asli. Kalau asli terus mengapa gitu lho.

Terkait dengan isu bantuan yang sering kurang mendidik yang diberikan kepada kaum miskin, ibu Esti setuju bahwa bantuan yang diberikan kepada kaum miskin/pihak yang membutuhkan harus bersifat mendidik, yaitu bisa menumbuhkan kemampuan untuk mengatasi persoalannya sendiri tanpa bergantung dengan pihak lain. Namun demikian kita juga tidak dapat menutup mata, apabila kondisi sangat darurat maka bantuan dapat diberikan secara langsung/karitatif. Kalau rakyat mengalami kekeringan maka untuk pemberdayaan kita bisa memberikan bantuan pompa air, namun bila tingkat kekeringan sudah sangat parah maka bantuan berupa air bersih tidak boleh dilarang.

Terkait dengan isu liberalisasi pasar, Ibu Maya meyatakan bahwa kita tidak boleh anti pati dengan pemodal dari luar karena maju tidaknya suatu wilayah sangat tergantung dengan keberadaan modal. Yang kita perlukan adalah adanya regulasi/aturan yang jelas-jelas memiliki keberpihakan kepada rakyat. Dengan aturan tersebut diharapkan rakyat bukan hanya menjadi pihak penonton yang tidak memiliki peran sama sekali dalam perputaran roda perekonomian tetapi juga terlibat aktif dalam kegiatan tersebut sehingga mereka dapat ikut menikmati manfaatnya.*