Arsip:

Kerja Sama

Komunikasi Pembangunan dan Dinamika Politik di Aras Lokal

“Dalam konteks pembangunan komunikasi dan penyuluhan adalah dua hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan. Banyak orang mengatakan bahwa penyuluhan adalah hal yang mudah, sekedar dating ke masyarakat menyampaikan sesuatu dan selesai. Padahal banyak pustaka mengatakan bahwa penyuluhan tidak sekedar transfer of knowledge/information, tetapi bagaimana pesan yang dsampaikan dapat dilaksanakan oleh banyak pihak dan berkelanjutan” demikian pernyataan penyaji dalam seminar bulanan yang dilaksanakan di PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 14 Juli 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang penyaji M. Najib Husain, dosen Universitas Haluoleo, Sultra yang pada saat ini sedang menempuh studi jenjang S3 di Universitas Gadjah Mada. Topik yang diangkat pada seminar sore tersebut adalah “Komunikasi Pembangunan dan Dinamika Politik di Aras Lokal”.

Penyuluhan sosial memiliki tiga komponen yang senantiasa melekat di dalamnya, yaitu pendidikan, mengajar orang sadar, dan ide-ide baru. Penyuluhan pada hakekatnya merupakan suatu langkah dalam usaha mengubah masyarakat menuju keadaan yang lebih baik dan merupakan suatu usaha menyebarluaskan hal-hal baru agar masyarakat tertarik untuk melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu penyuluhan merupakan bentuk pengabdian dan kegiatan mendidik masyarakat, mengajarkan pengetahuan, menyampaikan informasi positif dan ketrampilan baru agar mereka dapat membentuk sikap dan berperilaku hidup menurut apa yang seharusnya.

Berbagai penyuluhan pernah dilaksanakan selama ini, seperti penyuluhan pertanian, KB, hukum, gizi, sosial dll. Berdasarkan pengalaman tersebut, tampak bahwa betapa menentukannya masalah hubungan antara penyuluh dengan anggota masyarakat dimana kesuksesan seorang penyuluh akan ditentukan oleh kemampuan sosialisasinya, bagaimana cara membina dan memelihara kontak pribadi, dan hubungan yang akrab dengan masyarakat, sehingga melahirkan ikatan kekeluargaan yang erat antara penyuluh dan masyarakat.

“Disini begitu jelas bahwa penyuluhan adalah suatu bentuk kegiatan komunikasi. Penyuluh mencoba mengidentifikasi permasalahan yang disuluh, sejak penyuluh mengetahui, memahami, berminat, kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata adalah bagian dari proses komunikasi.” Jelas penyaji. “Proses komunikasi sendiri dikatakan berhasil jika komunikator dan komunikan memiliki pemahaman yang sama dan sama-sama siap. Komunikasi antar pribadi merupakan salah satu saluran komunikasi yang dapat dipergunakan dalam kegiatan penyuluhan untuk menyampaikan informasi dan pesan yang dibutuhkan masyarakat luas.

Tugas penting penyuluh adalah menyampaikan informasi dan pesan kepada khalayak. penyluh diharapkan mampu menjalin kerjasama yang baik dengan masyarakat, juga harus menerapkan komunikasi antar pribadi sebaik mungkin. Dalam melakukan aktifitas komunikasi penyuluh sebaik mungkin menjalin hubungan antar pribadi dengan khalayak. Untuk itu penyuluh dianjurkan untuk memiliki beberapa hal, yaitu kemampuan empati, yaitu kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi khalayak. Dengan kemampuan ini maka seorang komunikator harus memandang suatu persoalan dari kacamata khalayak dan bukan sekedar dari sudut tinjauan pribadi. Kemampuan menciptakan suasana yang homophily, yaitu terbangunnya hubungan erat dan setara antara penyuluh dengan yang disuluh. Kemampuan untuk menegakkan keserasian program yang dijalankannya dengan kebudayaan masyarakat setempat.

Pelaksanaan penyuluhan menuntut suatu persiapan. Perlu suatu perencanaan yang matang dan tidak dilakukan secara asal-asalan. Dalam melakukan penyuluhan, factor penyampaian hal-hal yang disuluhkan sangat penting. Oleh karena itusuatu kegiatan penyuluhan membutuhkan suatu desain yang terperinci dan spesifik yang menggambarkan masalah yang dihadapi, siapa yang akan disuluh, tujuan apa yang hendak dicapai, pendekatan yang dipakai, pengembangan pesan, dan saluran yang akan dipakai.

Beberapa masalah komunikasi yang juga perlu dipikirkan agar proses penyuluhan dapat berhasil adalah kompetensi komunikasi yang harus dimiliki seorang penyuluh, sifat dan semangat kepemimpinan yang harus tampak pada diri seorang penyuluh, teknik dan metode komunikasi yang efektif bagi kegiatan penyuluhan itu sendiri. Kompetensi penyuluh di bidang apapun amat ditentukan oleh faKtor kredibilitas sang penyuluh di mata khalayak. Untuk dapat diterima sebagai seorang komunikator yang dipercaya maka seorang penyuluh harus mampu menjangkau khalayak yang hendak disuluhnya, menguasai bahsa yang dimengerti oleh khalayak yang akan disuluhnya, dan berpenampilan yang dapat diterima oleh khalayak.

Kemampuan komunikasi penyuluh menjadi semakin penting manakala dikaitkan dengan fungsinya sebagai agen perubahan. Penyuluh datang ke tengah-tengah masyarakat membawa sejumlah idea tau gagasan. Umumnya idea atau gagasan tersebut mengandung hal-hal baru bagi masyarakat yang didatanginya agar terjadi suatu perubahan. Pengenalan dan kemudian penerapan gagasan-gagasan dan ide-ide baru dilakukan dengan harapan agar kehidupan masyarakat yang bersangkutan akan mengalami kemajuan. “Berbagai inovasi dapat menyebar dan dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat terutama berkat terjadinya komunikasi antar anggota suatu masyarakat. Dengan demikian komunikasi merupakan factor penting untuk menentukan terjadinya sutau perubahan sosial.” Kata penyaji, sebelum seminar sore tersebut ditutup.

Ironi Hubungan Kehutanan dengan Masyarakat Desa

“Bukan merupakan hal yang aneh bagi kita yang tinggal di Indonesia sering  mendengar terjadinya kasus konflik antara perusahaan HPH dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Bukan merupakan hal yang aneh pula bahwa kita sering mendengar tingginya tingkat kemiskinan yang dialami oleh warga masyarakat disekitar kawasan hutan. Dan bukan merupakan hal yang aneh bila kita sering mendengar tingginya tingkat kerusakan hutan di Indonesia.” papar penyaji membuka seminar bulanan yang dilaksanakan di PSPK UGM pada hari Kamis, tanggal 9 Juni 2011. Seminar yang telah menjadi tradisi rutin setiap bulan tersebut, pada kesempatan itu menampilkan seorang penyaji yaitu Datuk Iman Suramenggala, S.Hut, M.Hut, kandidat doctor di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada sekaligus staf Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan, Propinsi Kalimantan Timur, dengan moderator Drs. Suharman, M.Si. Topik yang diangkat dalam seminar tersebut adalah “Ironi Relasi Hutan dan Masyarakat Desa”.

Banyaknya permasalahan yang muncul di sekitar kawasan hutan tersebut terjadi karena beberapa faktor, namun faktor yang paling dominan menurut penyaji adalah tumpang tindihnya aturan hukum yang berlaku terkait dengan sumber daya hutan. Kita mengetahui bahwa setiap departemen yang terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan (Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan) memiliki undang-undang sendiri-sendiri, sementara objeknya sama sehingga sangat wajar apabila akhirnya terjadi tumpang tindih. Sebagai gambaran, ada kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan lindung, namun karena di dalam lapisan tanahnya terdapat bahan tambang maka kawasan hutan lindung tersebut dibiarkan dieksploitasi oleh perusahaan pertambangan yang telah mendapat ijin dari Departemen Pertambangan, sehingga akhirnya hutan lindung tersebut rusak.

Yang lebih tragis adalah meskipun Departemen Kehutanan telah menetapkan suatu wilayah sebagai kawasan hutan, namun kawasan tersebut bisa diubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan dan dipergunakan untuk lahan perkebunan sawit hanya karena pohon/tanaman yang tumbuh di kawasan tersebut telah dibabat habis oleh perusahaan pemegang HPH, tanpa melakukan upaya reboisasi. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, dari 2 juta hektar kawasan hutan yang dimiliki Indonesia pada tahun 2000 hanya dalam kurun waktu satu dekade telah menurun menjadi 1,2 juta hektar. Sungguh merupakan fakta yang sangat mengejutkan.

Kerusakan hutan atau hilangnya kawasan hutan merupakan persoalan besar yang muncul dalam system pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Namun persoalan yang paling besar menurut penyaji adalah tingginya tingkat kemiskinan yang dialami oleh warga masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Persoalan ini muncul karena beberapa factor antara lain hilangnya akses yang dimiliki oleh warga masyarakat akibat perubahan status hutan. Pada mulanya suatu wilayah kehutanan belum memiliki status karena belum ditetapkan oleh pemerintah sehingga warga masyarakat yang ada di dalam dan disekitar kawasan hutan dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada di kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun ketika wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung atau hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan ke pihak swasta maka otomatis warga masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar kawasan hutan kehilangan akses untuk memanfaatkan hasil hutan. Mereka kehilangan sumber penghidupan. Dampak ini juga sering terjadi ketika suatu kawasan hutan diubah statusnya menjadi bukan kawasan hutan dan dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan.

Masifnya proses ahli fungsi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan yang pengelolaannya diserahkan pihak swasta seringkali menyebabkan warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan bukan hanya kehilangan sumber penghidupan mereka tetapi juga kehilangan hak milik atas tanah yang selama ini dimiliki. Banyak kasus dimana pemerintah memberikan hak pengelolaan lahan kawasan hutan kepada pihak swasta, sementara ada sebagian lahan yang ada di kawasan tersebut yang merupakan milik adat atau milik pribadi warga masyarakat di sekitar kawasan hutan. Namun karena pada umumnya kepemilikan tanah adat atau tanah milik pribadi tersebut tidak dibuktikan dengan adanya bukti hitam di atas putih (sertifikat/surat tanah) maka ketika penyerobotan lahan tersebut terjadi mereka tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut merupakan milik mereka. Akhirnya mereka hanya bisa gigit jari ketika lahan mereka dimiliki oleh perusahaan swasta.

Masalah tanah merupakan masalah yang sangat pelik. Jarang ada warga masyarakat atau masyarakat adat yang memiliki konflik dengan perusahaan swasta yang dapat menang di pengadilan. Jangankan yang tidak memiliki bukti kepemilikan atas tanah, bahkan yang memiliki bukti kepemilikan atas tanah pun bisa kalah dalam pengadilan. Sebagai contoh, keluarga kami memiliki lahan kawasan hutan 65.000 hektar, kami sudah memiliki surat register sejak zaman Belanda, namun ketika tanah tersebut diklaim oleh sebuah perusahaan swasta dan proses peradilan berlanjut hingga Mahkamah Agung, peradilan tetap memenangkan perusahaan.

Salah satu saran yang sering saya sampaikan kepada warga masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan agar hak milik mereka lebih terjamin adalah dengan melakukan sertifikasi lahan yang mereka miliki, yang ada di kawasan hutan. Dengan adanya sertifikat tanah maka hak milik mereka akan lebih aman. Pensertifikatan lahan di kawasan hutan bisa dilakukan karena berdasarkan UU Kehutanan, yang disebut kawasan hutan adalah tanam tumbuh yang ada di suatu kawasan, tidak termasuk di dalamnya tanah tempat tanaman tersebut tumbuh. Oleh karena itu lahan di kawasan hutan bisa dimiliki oleh pribadi. Apabila lahan disuatu kawasan hutan hutan belum menjadi tanah milik Negara maka warga masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan tersebut bisa memilikinya dan mengajukan pensertifikatan. “Apabila sertifikat sudah dikeluarkan oleh BPN maka tanah tersebut resmi menjadi hak milik warga. Namun demikian, karena tanah milik warga tersebut berada di kawasan hutan maka mereka tidak boleh mengubah fungsinya, misalnya menjadi lahan pertanian atau perumahan. Lahan tersebut tetap harus difungsikan sebagai hutan.” Ucap penyaji sebelum seminar sore tersebut ditutup.*(dc)

Pendampingan bagi Warga Masyarakat Korban Bencana Erupsi Merapi

Letusan Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada akhir tahun 2010 pada saat ini sudah mereda, namun dampak yang ditimbulkan masih terasa sampai saat ini. Bukan hanya dampak jatuhnya korban nyawa dan kerusakan fisik (hancurnya rumah dan prasarana umum) yang ditimbulkan oleh bencana susulan yaitu banjir lahar dingin yang menerjang di sepanjang alur sungai yang berhulu di puncak Merapi, tapi juga terjadinya kerusakan alam termasuk lahan pertanian akibat timbunan abu vulkanik yang dilontarkan oleh gunung berapi saat terjadi erupsi.

Terjadinya kerusakan lahan pertanian di wilayah sekitar gunung merapi menyebabkan para petani tidak dapat lagi memanfaatkan lahan tersebut untuk melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan, seperti pada saat sebelum terjadi bencana letusan Gunung Merapi. Permasalahan ini apabila dibiarkan saja akan sangat mengancam keberlangsungan hidup para petani karena mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian yang selama ini mereka andalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Karena merasa ikut bertanggung jawab untuk membantu masyarakat memecahkan permasalahan yang dihadapi, PSPK UGM bekerja sama dengan berbagai donatur yang berasal dari dalam dan luar negeri melaksanakan kegiatan pendampingan bagi warga masyarakat korban bencana erupsi Merapi. Salah satu program pendampingan yang saat ini sedang dilaksanakan oleh PSPK UGM adalah pendampingan bagi petani untuk melakukan kegiatan budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan pembuatan demplot pertanian lahan pasir vulkanik di wilayah kecamatan Cangkringan, Sleman. Dengan melibatkan petani lokal sebagai pelaksana, para staf peneliti dari PSPK UGM memberikan bimbingan ilmu tentang budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik. Selain itu, PSPK UGM juga memberikan bantuan bibit dan sarana pertanian lainnya. Pada saat ini lahan demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang dibuat oleh PSPK UGM bersama petani lokal tersebut telah menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Di atas lahan pasir vulkanik yang nampaknya tidak dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian tersebut telah tumbuh subur tanaman kacang tanah dan kedelai. Diharapkan setelah melihat hasil dari demplot pertanian ini warga masyarakat petani yang sebelumnya takut untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan sawah yang telah berubah menjadi lahan pasir vulkanik, menjadi bersemangat lagi untuk memanfaatkan lahan yang ada.

Salah satu kunci keberhasilan demplot pertanian lahan pasir vulkanik untuk pembudidayaan tanaman pangan (kacang dan kedelai) menurut para pakar pertanian dari PSPK UGM adalah pemanfaatan pupuk kandang. Pupuk kandang merupakan faktor yang ikut menentukan keberhasilan pertanian di lahan pasir vulkanik. Pupuk kandang dengan dosis yang pas sangat dibutuhkan oleh tanaman yang dibudidayakan di lahan pertanian pasir vulkanik karena kandungan unsur hara di dalam lahan pasir vulkanik sangat minim. Oleh karena itu idealnya setiap petani yang membudidayakan tanaman pertanian di lahan pasir vulkanik juga memelihara ternak sebagai sumber pupuk kandang.

Kedepan keberhasilan program demplot pertanian lahan pasir vulkanik yang telah dirintis oleh PSPK UGM ini akan ditindaklanjuti dengan kegiatan pendampingan bagi para petani di wilayah lereng Merapi untuk membudidayakan tanaman pertanian di lahan masing-masing. PSPK bersama donatur yang berasal dari berbagai wilayah baik dalam dan luar negeri akan berusaha untuk memberikan bantuan kepada mereka, baik dalam hal ilmu budidaya pertanian di lahan pasir vulkanik maupun sarana dan prasaran pertanian yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, termasuk bantuan yang berujud ternak yang akan dapat menjadi sumber pupuk kandang yang sangat dibutuhkan oleh para petani.

Anda tertarik dengan kegiatan ini dan ingin memberikan bantuan untuk kesuksesan kegiatan ini? Kami persilahkan anda untuk menghubungi kami. Semua bantuan yang anda sumbangkan akan kami kelola dengan baik demi tercapainya tujuan program yaitu pemulihan sumber penghidupan bagi para petani korban erupsi gunung Merapi. Kami tunggu partisipasi anda. (*dc)

Pendampingan Pengrajin Rambak di Klaten

Guna membantu memulihkan sumber penghidupan warga masyarakat korban Gempa Bumi di Desa Gesikan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, khususnya warga masyarakat yang menekuni kegiatan pembuatan krupuk rambak yang sempat terhenti akibat bencana gempa, PSPK UGM bekerja sama dengan YCAP (Yogya Central Java Community Assistance Program) melaksanakan sebuah program pendampingan. Program yang berlangsung sejak tahun 2008 tersebut mencakup beberapa jenis kegiatan, >baik yang bersifat fisik maupun penguatan kelembagaan. Program kegiatan yang bersifat fisik antara lain pemulihan tempat usaha/dapur yang memperhatikan aspek keselamatan kerja, pengadaan peralatan produksi, pengadaan modal kerja, peningkatan kualitas produk dan pemasaran. Sedangkan kegiatan penguatan kelembagaan berupa pembentukan dan pendampingan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan.

Kegiatan pembangunan tempat usaha dilaksanakan pada tahun pertama dan telah berhasil membangun 19 unit bangunan dapur yang memenuhi standar tahan gempa. Guna meminimalisir dampak negatif dari kegiatan usaha pembuatan krupuk rambak terhadap lingkungan, bangunan dapur tersebut dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah. Kegiatan pengadaan peralatan produksi dilaksanakan dengan memberikan bantuan seperangkat alat kerja yaitu kompor, panci, wajan, alat penjemur, alat pengepan dll. Kegiatan pengadaan bahan baku dilaksanakan dengan memberikan sejumlah bahan baku yang diperlukan untuk membuat krupuk rambak, yaitu tepung terigu, tepung tapioca, minyak goring, dll. Kegiatan peningkatan kualitas produksi dilaksakan dengan melaksanakan pelatihan produksi yang mengutamakan aspek higienitas. Sedangkan kegiatan penguatan pasar dilaksanakan dengan perintisan pasar ke supermarket dan pasar di luar daerah.

Kegitan penguatan kelembagaan dilaksanakan dengan pembentukan kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan. Pembentukan kelompok ini dirasa sangat diperlukan guna mengatasi beberapa masalah yang sering dialami oleh para pengrajin, antara lain kesulitan pengadaan bahan baku dan pemasaran akibat persaingan harga. Kesulitan dalam pengadaan bahan baku sering terjadi akibat adanya ketergantungan para pengrajin terhadap para pedagang bahan baku. Ketergantungan itu menyebabkan harga bahan sering berfluktuasi (naik) dan tidak dapat dijangkau oleh para pengrajin atau bahan sering langka/menghilang dari pasaran. Kesulitan pemasaran sering terjadi akibat adanya persaingan tidak sehat antar pengrajin. Guna menarik pelanggan banyak pengrajin yang menurunkan harga jual. Dengan adanya kelompok diharapkan kesulitan dalam pengadaan bahan baku dan pemasaran dapat diatasi. Langkah yang ditempuh oleh kelompok untuk memecahkan masalah kesulitan dalam pengadaan modal adalah dengan mengkoordinasikan pengadaan bahan baku bagi para pengrajin. Guna menekan harga maka kelompok memotong mata rantai distribusi bahan baku dengan cara membeli bahan baku langsung dari produsen. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik dan pada saat ini para pengrajin sudah tidak mengalami kesulitan dalam pengadaan bahan baku. Sedangkan langkah yang ditempuh kelompok untuk mengatasi masalah pemasaran adalah dengan membina kebersamaan antar pengrajin. Setiap bulan kelompok menyelenggarakan pertemuan anggota yang selain bermanfaat untuk membina kebersamaan antar anggota kelompok juga menjadi ajang musyawarah bagi anggota untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang dihadapi oleh para pengrajin termasuk masalah pemasaran. Guna mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar pengrajin maka kelompok melalui pertemuan tersebut membuat kesepakatan bersama tentang harga jual produk. Guna meningkatkan peluang pasar kelompok bekerja sama dengan berbagai pihak menyelenggarakan kegiatan pameran hasil produksi.

Setelah berjalan hampir dua tahun kelompok pengrajin rambak di desa Gesikan yang pada mulanya hanya berbentuk paguyuban pada saat ini telah meningkat menjadi koperasi. Omset yang dimiliki telah berkembang pesat dan pelayanan yang diberikan juga telah bertambah, bukan hanya melayani pengadaan bahan baku tapi juga memberikan fasilitas kredit produktif bagi para anggotanya.*(dc)

Kepedulian PSPK UGM pada Korban Letusan Merapi

Letusan Gunung Merapi yang berada di perbatasan propinsi DIY dan Jawa Tengah yang berlangusng sejak tanggal 26 Okober telah menimbulkan korban yang tidak sedikit, baik korban harta benda maupun nyawa. Ribuan rumah tinggal dan fasilitas umum hancur, ribuan ekor binatang ternak dan ribuan hektar tanaman pertanian/perkebunan musnah, serta ratusan nyawa manusia melayang dan luka-luka akibat letusan merapi.

Jatuhnya korban akibat bencana Merapi telah mendorong banyak pihak, baik secara pribadi maupun kelembagaan untuk menyalurkan bantuan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Salah satu lembaga yang memiliki kepedulian pada para korban letusan Merapi adalah Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Dengan menjalin kerjasama dengan Komite Kemanusiaan Yogyakarta (sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk dan beranggotakan sejumlah tokoh masyarakat, yang berasal dari berbagai pihak yaitu akademisi, budayawan, rohaniwan, pengusaha, dll), PSPK UGM telah menyalurkan sejumlah bantuan kepada para korban bencana Merapi.

Dengan melibatkan relawan yang berjumlah kurang lebih 30 orang pemuda dan mahasiswa, dalam masa tanggap darurat bencana Merapi yang berlangsung sejak pertama kali Gunung Merapi Meletus tanggal 26 Oktober 2010 hingga akhir November 2010, PSPK UGM dan KKY telah berhasil menghimpun bantuan dari berbagai kalangan masyarakat dan menyalurkannya kepada para korban Merapi. Sejumlah bantuan yang berhasil disalurkan oleh PSPK UGM dan KKY kepada para korban Merapi antara lain berupa makanan cepat saji, sembako (beras, minyak goreng, gula, dll), selimut dan pakaian pantas pakai, serta obat-obatan.

Guna menghindari terjadinya tumpang tindih dalam penyaluran bantuan kepada korban Merapi, sebelum melakukan kegiatan penyaluran bantuan para relawan terlebih dahulu melakukan pemetaan sosial, yaitu kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang jenis bantuan yang dibutuhkan oleh para korban dan lokasi sarasan yang belum tersentuh bantuan dari pihak lain. Hasil kegiatan pemetaan sosial ini sangat berguna untuk memaksimalkan manfaat dari bantuan yang disalurkan oleh PSPK UGM dan KKY. Salah satu manfaat yang dapat diraih dari kegiatan pemetaan sosial yang dilakukan sebelum penyaluran bantuan adalah dapat ter-cover-nya komunitas korban Merapi yang semula luput dari perhatian para donatur. Salah satu komunitas tersebut adalah komunitas korban Merapi yang berada di tepian Kali Code.

Meski lokasi komunitas masyarakat Kali Code jauh dari puncak Merapi namun karena sungai yang membelah kota Yogyakarta itu berhulu di lereng Merapi maka dampak letusan Merapi juga dirasakan oleh komunitas tersebut. Namun bukan awan panas yang mengancam mereka melainkan banjir lahar dingin. Lahar dingin yang terbawa arus air di Kali Code telah menyebabkan sungai Code mengalami pendangkalan sehingga akhirnya pemukiman di sekitar kali tersebut terkena banjir.

Meskipun masa tanggap darurat akan segera berakhir namun kepedulian PSPK UGM dan KKY pada masayarakat koban bencana Merapi akan terus dilanjutkan. Pada masa rekonstroduksi PSPK UGM dan KKY telah membuat perencanaan untuk membantu pengadaan air bersih bagi warga masyarakat di sejumlah desa di lereng Merapi, baik yang berada di Propinsi DIY maupun Propinsi Jawa Tengah, dengan memberikan sejumlah alat penyaring air besih. Di samping itu, PSPK UGM dan KKY juga akan mendampingi warga masyarakat korban bencana Merapi agar dapat memulihkan atau menciptakan sumber penghidupan baru dengan harapan mereka segera dapat mandiri dan tidak berrgantung lagi pada pihak lain.

Apabila anda memiliki kepedulian pada para korban bencana Merapi dan ingin memberikan bantuan kepada mereka, namun anda tidak mengetahui cara untuk menyalurkannya, percayakan bantuan anda kepada kami maka kami akan menyalurkan bantuan tersebut kepada pihak/korban yang benar-benar membutuhkan. Kami tunggu partisipasi anda.

Corporate Social Responsibility

ANDA MENGALAMI MASALAH DENGAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)?

PSPK UGM Siap Membantu Anda

 

Corporate Social Responsibility (CSR)

Di era sekarang ini Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh suatu perusahaan yang menginginkan agar kegiatan usaha yang dilaksanakan dapat berjalan lancar dan berkesinam-bungan. Berbeda dengan paradigma yang dianut pada masa lalu yang menganggap CSR hanya merupakan kegiatan pelengkap (artifisial) saja, di era sekarang ini sebagian besar perusahaan telah menempatkan CSR sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan. Hal ini didasari oleh kesadaran bahwa kemajuan sebuah perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kinerja internal perusahaan tetapi juga dipengaruhi oleh warga masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Kondisi sosial budaya warga masyarakat di sekitar perusahaan yang kondusif akan menjadi faktor pendukung bagi kelancaran kegiatan usaha perusahaan. Sebagai salah satu faktor yang turut berpengaruh pada kamajuan yang akan dicapai oleh perusahaan, banyak perusahaan yang menempatkan biaya untuk pelaksanaan kegiatan CSR sebagai salah satu pos pembiayaan yang harus ditanggung oleh perusahaan dalam rangka kegiatan produksi.

Ada beberapa model CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan, namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 model, yaitu model karitatif dan model pemberdayaan. Model karitatif merupakan model CSR yang menempatkan warga masyarakat sekitar perusahaan hanya sebagai penerima bantuan semata. Dalam model ini masyarakat penerima program sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring kegiatan CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Sedangkan, model pemberdayaan adalah model CSR yang menempatkan warga masyarakat sekitar perusahaan bukan hanya sebagai objek/penerima bantuan semata, tetapi juga sebagai subyek yang berhak ikut dalam menentukan program  yang akan dilaksanakan. Mereka dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring program.

Dalam pelaksanaan kegiatan CSR, tiap-tiap perusahaan memiliki sistem yang berbeda dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada beberapa sistem CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan, antara lain pertama, membentuk satu divisi/bagian dalam struktur organisasi perusahaan yang memiliki tugas untuk melaksana-kan kegiatan CSR; kedua, membentuk organisasi/lembaga yang secara organisatoris memiliki posisi terpisah dari perusahaan, namun mendapat support pendanaan dari perusahaan untuk melaksanakan kegiatan CSR; dan ketiga menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan CSR. Masing-masing model memiliki kelebihan dan kekurangan yang menjadi bahan pertimbangan bagi masing-masing perusahaan untuk menetapkan model CSR yang akan dilaksanakan.

Problem CSR

Meskipun pada saat ini sebagian besar perusahaan telah melaksanakan kegiatan CSR sebagai salah satu bentuk kepedulian mereka pada masyarakat sekitar perusahaan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih sering terdengar berita tentang terjadinya ketegangan/konflik antara perusahaan dengan masyarakat di sekitar perusahaan. Berdasarkan catatan, intensitas konflik antara perusahaan dengan warga masyarakat sekitar perusahaan dari waktu ke waktu tidak semakin menurun melainkan cenderung semakin meningkat. Hal itu menimbulkan pertanyaan, apakah ada yang salah dengan program CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan-per usahaan tersebut?

Berdasarkan kajian literatur, terdapat 2 kemungkinan yang dapat menjadi penyebab kegagalan CSR dalam meredam konflik/ketegangan antara perusahaan dengan warga masyarakat sekitar perusahaan. Pertama, program CSR yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat; dan kedua, adanya kelemahan dalam pelaksanaan program CSR. Namun untuk dapat memperoleh jawaban yang lebih tepat atas pertanyaan besar tersebut, perlu adanya kegiatan kajian/evaluasi terhadap program CSR yang telah dilaksanakan oleh perusahaan. Dengan harapan, melalui kegiatan tersebut dapat segera diperoleh informasi tentang kesesuaian program CSR yang dilaksanakan perusahaan dengan kebutuhan yang dirasakan oleh warga masyarakat sekitar perusahaan atau kelemahan/kekurangan dari program CSR yang telah dilaksanakan sehingga segera dapat dilakukan perencanaan ulang atau pembenahan program CSR demi efektivitas dan efisiensi program. Urgensi dari pelaksanaan kegiatan kajian evaluasi terhadap program CSR sangat dirasakan, yaitu guna menghindari penggunaan dana perusahaan yang tidak efisien dan efektif karena tidak dapat memberikan hasil yang optimal bagi pencapaian tujuan program.

Kegiatan kajian evaluasi program CSR dapat dilaksanakan secara internal dan eksternal. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Evaluasi program yang dilaksanakan secara internal, dari sisi adminitratif lebih sederhana, namun secara substansi kurang memenuhi standart validitas akibat adanya konflik kepentingan (conflict of interest) yang dapat menyebabkan hasil evaluasi seringkali tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Sebaliknya evaluasi eksternal, dari sisi administratif lebih kompleks namun dari sisi subtansi lebih dapat diandalkan.

Apabila dibandingkan, sistem evaluasi eksternal akan dapat memberikan keuntungan yang lebih maksimal bagi perusahaan dibandingkan sistem evaluasi internal. Validitas hasil evaluasi yang lebih terjamin dapat mendorong perusahaan untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan guna menjamin efektivitas program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Dengan kata lain, sistem evaluasi eksternal akan menjamin efisiensi dan efektvfitas kegiatan evaluasi yang dilaksanakan.

Konsultan CSR

Pada saat ini ada banyak lembaga yang menyediakan fasilitas untuk melakukan perencanaan dan kajian evaluasi program CSR. Namun tidak semua lembaga memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk melakukannya. Agar tidak mengalami kekecewaan di kemudian hari, maka perlu bagi setiap perusahaan untuk memilih konsultan perencanaan dan kajian evaluasi program CSR yang telah berpengalaman. Salah satu lembaga yang berpengalaman dalam melakukan perencanaan program dan kajian evaluasi program CSR adalah Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada (PSPK UGM).

PSPK UGM merupakan salah satu unit kerja dari Universitas Gadjah Mada yang bertugas untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. PSPK didirikan pada bulan April 1973. Sampai dengan tahun 1979 pusat ini dikenal dengan nama Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan (LSPK), dan sesudah itu terkenal dengan sebutan Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan dan Kawasan (PPSPK). Sebutan itu berubah lagi, yakni dari tahun 1984-2001 dikenal dengan nama Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK). Akhirnya, sejak bulan Juli 2001 dikenal dengan nama Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) dan berlaku hingga saat ini.

PSPK UGM memiliki banyak pengalaman dalam melakukan kegiatan perencanaan dan kajian evaluasi program CSR. Selama berdiri, berkat dukungan dari para pakar yang ada di lingkungan Universitas Gadjah Mada, PSPK UGM telah mampu melaksanakan kerja sama dengan berbagai kalangan, termasuk dengan berbagai perusahaan, baik yang berskala nasional maupun internasional. Beberapa kajian perencanaan dan evaluasi program yang telah berhasil dilaksanakan oleh PSPK UGM  antara lain: (1) Studi Penyusunan Indikator Kerakyatan pada Perusahaan Pertambangan, (2) Studi Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan dengan Masyarakat Sekitar, (3) Studi Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Perusahaan PT. Kelian Equatorial Mining, (4) Studi Evaluasi ”Company Performance” PT. Timah. Tbk, (5) Studi Evaluasi Program Kesehatan Masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur, (6) Studi Evaluasi Program Perberdayaan Masyarakat Sekitar Waduk Sermo DIY, (7) Studi Penyusunan Model Pengembangan Masyarakat Sekitar Perusahaan Besar di Kawasan Timur Indonesia, Studi Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat sekitar perusahaan PT Kelian Gold Mining, dan (8) Studi Dampak Sosial Ekonomi Perkebunan Kelapa sawit PT. Asian Agri.

Dari berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan, PSPK UGM berhasil memberikan berbagai rekomendasi dan masukan penting yang dapat segera ditindaklanjuti oleh perusahaan demi efisiensi dan efektivitas program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan tersebut.

Bedah Buku “Manajemen Krisis: Protokol Penyelamatan dan Pemulihan di Sektor Pangan, Pertanian dan Perdesaan”

“Dalam manajemen krisis ada dua dalil, yaitu pemahaman yang dangkal terhadap asal muasal, sama bahayanya dengan pemahaman yang keliru terhadapnya. Selanjutnya, keputusan yang terlambat sama juga beresikonya dengan keputusan yang salah. Oleh karenanya, penyusunan protocol manajemen krisis harus mengacu pada pendekatan ilmiah dan riset kebijakan. Ketiadaan protokol dapat membuat situasi krisis berubah menjadi kondisi chaos”, demikian pernyataan Prof. Dr. Ir. Eriyatno, M.Sc dalam acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM pada hari Rabu, tanggal 28 April 2010. Buku yang dibedah berjudul “Manajemen Krisis: Protokol Penyelamatan dan Pemulihan di Sektor Pangan, Pertanian dan Perdesaan”, karya Prof. Eriyatna bersama tim peneliti dari Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor. Hadir dalam acara tersebut, Dr. Mirwan Ushada, dosen Fakultas Teknologi Pertanian yang berlaku sebagai pembahas dan Dr. Dyah Ismoyowati, Kepala PSPK UGM yang berperan sebagai moderator.

Buku ini merupakan kumpulan hasil-hasil penelitian tahun 2009 dari para peneliti andalan IPB tentang upaya-upaya penanggulangan dampak krisis finansial global 2008-2009 terhadap sektor pangan, pertanian dan perdesaan. Metodologi riset terkini dan informasi aktual disajikan secara komprehensif dan lintas disiplin untuk menunjang gagasan-gagasan yang inovatif dan inkonvensional.

Analisis kebijakan dilakukan terutama belajar dari pengalaman penanganan krisis moneter  1997/1998, guna melahirkan konsepsi Jaring Pengaman Sektor Pertanian dan Perdesaan serta landasan pola Sistem Ekonomi Domestik. Buku ini selain berguna bagi para ilmuwan yang mengkaji faktor dan parameter krisis, juga dapat dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan di lembaga pemerintahan dan badan legislatif sebagai input akademis.

Tim penulis berharap agar pemikiran yang dituangkan di dalam buku ini dapat meningkatkan sistem resiliensi nasional baik di sektor finansial maupun sektor riil. Buku ini menyediakan protokol manajemen agar bilamana badai krisis finansial melanda lagi maka kaum petani, nelayan dan pengusaha mikro terlindungi dan tidak semakin menderita karenanya.

Terkait dengan buku yang dibahas, Dr. Mirwan Ushada yang berperan sebagai pembahas menyampaikan beberapa tanggapan, pertama, buku ini sangat menarik untuk dibaca karena melibatkan tujuh penyusun utama dari berbagai macam cara pandang interdisipliner. Kedua, buku ini menghasilkan rekomendasi yang lengkap terutama bagi para pengambil keputusan di lembaga pemerintah. Namun agar hasil penelitian ini benar-benar dapat bermanfaat maka perlu dijelaskan pula tentang mekanisme pemanfaatan hasil rekomendasi terhadap krisis sejenis terdahulu dalam kebijakan pemerintah. “Alangkah lebih baik bila rekomendasi-rekomendasi yang reliabel dalam buku ini dapat langsung diakomodasi secara langsung dalam kebijakan pemerintah sehingga masyarakat bisa langsung merasakannya” kata Dr. Mirwan***(dc)

Program Peningkatan Ketahanan Ekonomi dan Pemahaman terhadap Potensi Bencana Warga Masyarakat Korban Bencana Gempa di Klaten

Selama 8 bulan kedepan yaitu sejak bulan April hingga bulan November 2009, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM bekerjasama dengan Yogya Central Java Community Assistance Program (YCAP) melakukan program pendampingan pada masyarakat korban bencana gempa di Kabupaten Klaten. Program yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan kesadaran terhadap potensi bencana warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan tersebut akan dijabarkan dalam beberapa bentuk kegiatan, yaitu:

Pertama, pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM) di tingkat Rukun Warga (RW). Kegiatan ini akan akan dijabarkan dalam beberapa sub kegiatan antara lain fasilitasi pembentukan LKM, pembentukan pengurus LKM, penyusunan AD/ART, pelatihan bagi pengurus LKM, penyediaan sarana penunjang, dan pengadaan modal LKM. Kegiatan ini dipilih atas dasar kenyataan bahwa hingga saat ini masih banyak warga masyarakat korban gempa yang belum mampu memulihkan sumber penghidupan mereka atau sudah mampu memulihkan sumber penghidupan mereka namun usaha tersebut belum mampu berkembang sesuai dengan harapan. Kendala utama yang dihadapi oleh warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan untuk memulihkan kembali sumber penghidupan yang pernah ditekuni atau mengembangkan usaha yang ditekuni adalah keterbatasan modal usaha. Meskipun di sekitar mereka terdapat lembaga keuangan resmi (bank) yang memberikan fasilitas kredit, namun tidak semua warga masyarakat mampu untuk memanfaatkan fasilitas tersebut. Hal itu antara lain karena mereka tidak dapat memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh pihak bank. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya lembaga keuangan mikro (LKM) di desa yang mampu memberikan fasilitas kredit bagi warga masyarakat pedesaan secara cepat dan mudah. Pembentukan LKM di tingkat RW ini diharapkan akan dapat berjalan dengan lancar karena berdasarkan assesment yang telah dilakukan, sebagian besar RW di kedua desa calon penerima program telah memiliki pengalaman dalam melakukan pengelolaan dana bersama. Di setiap RW terdapat paguyuban RW yang memiliki kegiatan arisan dan simpan pinjam.

Kedua, pendampingan usaha pengolahan makanan skala rumah tangga yang akan dijabarkan dalam beberapa sub kegiatan, yaitu pelatihan peningkatan kualitas produksi, penanganan pasca produksi, dan penguatan akses pasar. Kegiatan ini selain bertujuan untuk melanjutkan fasilitasi bagi para pengrajin rambak di desa Gesikan yang pada program YCAP I telah mendapat pendampingan untuk memulihkan usaha namun belum dapat berkembang secara maksimal akibat berbagai kendala yang masih dihadapi, juga bertujuan untuk memfasilitasi usaha pengolahan makanan skala rumah tangga di desa Ceporan yang juga telah bangkit dari keterpurukan akibat gempa namun belum dapat berkembang secara maksimal akibat berbagai kendala yang juga masih dihadapi. Beberapa usaha pengolahan makanan skala rumah tangga yang akan difasilitasi melalui program ini antara lain usaha pembuatan krupuk rambak, usaha pembuatan emping mlinjo, usaha pembuatan kripik sukun, usaha pembuatan roti/kue kering, usaha pembuatan kripik belut, dll.

Ketiga, pembuatan peta rawan bencana desa dan sosialisasi peta rawan bencana beserta teknik penanggulangannya kepada seluruh warga masyarakat. Kegiatan ini didasari oleh kenyataan bahwa pada saat ini tingkat kewaspadaan warga masyarakat terhadap potensi bencana semakin menurun. Setelah lebih dari 2 (dua) tahun bencana gempa berlalu, kondisi psikologis warga masyarakat korban gempa telah pulih kembali. Kehidupan sosial masyarakat berjalan seperti pada saat sebelum bencana dan tingkat kewaspadaan warga masyarakat terhadap potensi bencana pun mulai menurun. Kondisi ini sangat berbahaya karena sewaktu-waktu bencana bisa terjadi kembali, dan tanpa adanya kewaspadaan warga masyarakat maka potensi jatuhnya korban niscaya akan sangat besar. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu adanya upaya peningkatan pemahaman warga masyarakat akan potensi bencana yang ada di desa mereka melalui pembuatan peta rawan bencana desa secara partisipatif, yang dilanjutkan dengan sosialisasi secara intensif peta potensi bencana desa beserta teknik penanggulangannya kepada seluruh warga masyarakat.

Setelah pelaksanaan proyek, diharapkan ketahanan ekonomi warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan akan semakin meningkat, berkat pulih dan berkembangnya sumber penghidupan yang mereka tekuni. Di samping itu, diharapkan pula semakin rendahnya potensi jatuh korban saat terjadi bencana di masa yang akan datang berkat meningkatnya kesadaran warga masyarakat korban bencana gempa terhadap potensi bencana yang ada di sekitar mereka. Indikator yang disepakati untuk melihat keberhasilan proyek ini adalah adanya LKM di tingkat RW (19 LKM) yang mampu memberikan fasilitas kredit kepada warga masyarakat korban bencana gempa secara cepat dan mudah, terciptanya produk usaha pengolahan makanan yang berkualitas sehingga dapat menembus pasar modern, dan tersedianya 2 (dua) buah peta potensi bencana desa, yaitu peta potensi bencana desa Ceporan dan peta potensi bencana desa Gesikan, yang tersosialisasi dengan baik pada seluruh warga masyarakat.

Lokasi proyek ini mencakup dua desa, yakni Desa Ceporan dan Desa Gesikan yang keduanya berada dalam wilayah administratif kecamatan yang sama, yakni Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. Manfaat dari proyek yang dapat dirasakan oleh warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan adalah peningkatan ketahanan ekonomi karena pulih dan berkembangnya sumber penghidupan mereka, berkat adanya kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas kredit yang disediakan oleh LKM, berkembangnya usaha pengolahan makanan yang dijalankan oleh warga masyarakat berkat pendampingan usaha yang dilakukan baik dalam aspek produksi maupun pasca produksi, kesempatan kerja baru bagi warga masyarakat berkat terciptanya sumber penghidupan baru, dan adanya informasi tentang potensi bencana dan teknik penanggulangannya bagi warga masyarakat korban bencana gempa di daerah perdesaan.

Berdasarkan assesment yang telah dilakukan pada saat penyusunan perencanaan program, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka masyarakat akan memberikan kontribusi terhadap proyek yang berupa waktu, tenaga dan pikiran. Berkaitan dengan waktu warga masyarakat penerima proyek akan menyediakan waktu yang dimiliki untuk mengikuti semua kegiatan yang akan dilaksanakan, misalnya pertemuan rutin, pelatihan, sosialisasi, dll. Berkaitan dengan tenaga warga masyarakat penerima proyek bersedia untuk menyumbangkan tenaga yang dimiliki untuk membantu kelancaran pelaksanaan proyek, misalnya ikut membantu menyiapkan tempat pertemuan, dll. Sedangkan berkaitan dengan pikiran warga masyarakat penerima proyek bersedia menyumbangkan pemikiran mereka untuk kelancaran pelaksanaan proyek, misalnya ikut aktif dalam mempersiapkan AD/ART LKM, pemetaan potensi bencana secara partisipatif, dll.

Mitra Kerja Sama

PSPK UGM telah mampu menciptakan kegiatan-kegiatan yang berbasis pada sumber daya internal sejak awal pendiriannya. Akan tetapi, untuk lebih mengefektifkan peranan serta tanggung jawabnya pada kegiatan-kegiatan tersebut, PSPK UGM telah mampu mengundang serta menciptakan kerja sama inter-institusional dengan beberapa institusi antara lain:

  • Pemerintah Pusat: Kementerian Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi, Kementerian Agama, Kementerian ESDM, Kementerian Pendidikan Nasional.
  • Pemerintah daerah: Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau, Jawa Tengah, Kabupaten Ngawi, Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Jambi dan beberapa pemerintah daerah tingkat provinsi/kabupaten lainnya..
  • Institusi pemerintah yang lain: Bulog, Bank Indonesia, Bappenas, BPS, universitas, dan komite nasional JPS.
  • Lembaga-lembaga internasional: ILO, APO, UNDP, ROCKEFELLER FOUNDATION, FORD FOUNDATION, USAID, IDRC, TAD, PKAK, SEARCA, KAS, APPEC, THE ASIA FOUNDATION, RIO TINTO FOUNDATION, FADO, BORDA, JICA, JCIE, WORLD BANK. IWMI, ADB, DAN DFID.
  • Lembaga-lembaga non-pemerintah: YISS, AEKI, MUI,  Yayasan Bina Swadaya, CIDES, NGO FORUM, KIKIS, Yayasan  Indonesia Sejahtera (YIS) dan KEHATI.
  • Perusahaan-perusahaan nasional dan internasional: Perum Jasa Tirta, PT Indra Karya, Sarana Yogya Ventura, Perum Perhutani, Freeport Indonesia Mining Company, Kelian Equatorial Mining Company, Pt Caltex, Rio Tinto, PLAN, DAN UICO, ASIAN AGRI, EXXON MOBIL LIMITED, YCAP-AIP, dan lain sebagainya.